[CHAPTER EIGHT] Little Stories of Ours

Cover by Cindy Handoko
Cover by Cindy Handoko

Copyright © 2014 by Cindy Handoko

Previous chapters : 1 || 2 || 3 || 4 || 5 || 6 || 7

Delapan

Luna

Jika memang ini adalah takdir, maka biarkanlah ia mengalir.

 

***

AKU nggak tahu apa yang terjadi pada Stephanie hari ini. Tiba-tiba saja, dia jadi pendiam banget—oke, aku tahu, dalam kesehariannya, dia memang seseorang yang pendiam, tapi ini pendiam banget, bukan hanya pendiam saja. Berkali-kali, aku memergokinya sedang bengong di kelas, atau tidak mendengarkan saat aku mengajaknya bicara di kantin. Ia seperti memiliki sesuatu untuk dikatakan—atau ditanyakan, barangkali—padaku.

Saking bingungnya aku terhadap perubahan sikap Stephanie yang tidak jelas asal muasalnya itu, aku sampai menyusun beberapa kemungkinan yang bisa menyebabkannya bersikap aneh seperti ini. Kemungkinan pertama, dia lagi PMS. Tapi, ini rada nggak mungkin, soalnya dia nggak pernah bersikap seperti ini saat lagi PMS sebelumnya. Kemungkinan kedua, terjadi sesuatu antara dirinya dan David. Ini juga rada nggak mungkin, karena kalau benar kejadiannya seperti itu, dia pasti cerita padaku. Buat apa dia menyembunyikan semua itu dariku? Aku bukan orang terlarang untuk diberitahu, kan?

Kemungkinan terakhir adalah… dia sadar kalau aku marah padanya.

Yah, bukan marah, sih, lebih tepatnya, tapi ngambek. Sudah semingguan ini aku sengaja menghindar darinya, dan bahkan mengurangi untuk mampir ke rumahnya. Habis, aku kesal setengah mati padanya. Bayangkan saja, sejak camp-ku di Puncak dulu, dia sama sekali nggak pernah menelepon atau mengirim SMS untuk memberi kabar. Di sekolah, dia juga jadi lebih sering bengong daripada menanggapiku. Siapa yang nggak kesal diperlakukan seperti itu oleh sahabatnya sendiri? Mana dia suka senyam-senyum sendiri, pula! Kalau ditanya alasannya, dia spontan menjawab, “Nggak ada apa-apa, kok,” dengan enteng. Nyaris setiap pulang sekolah, dia langsung pergi bersama David tanpa menungguku atau bahkan memikirkanku. Enak saja dia nyuekin aku seperti itu, memangnya aku nggak bisa juga nyuekin dia?

Bukti dari semua hal yang bikin aku kesal itu bisa dilihat dengan jelas saat ini. Yeah, lihat saja cewek itu sekarang, duduk bengong sambil menggigit-gigit bibir bawahnya seperti orang kikuk. Hal ini sudah berlangsung selama lebih dari setengah jam, dan dia masih belum terlihat mau menyudahi acara bengong tidak pentingnya itu.

For God’s sake! Ini sudah lewat satu jam dari jam pulang sekolah, dan aku sudah menunggui di samping mejanya selama itu! Cewek ini kerasukan atau gimana, sih? Kesal juga lama-lama aku dibuatnya!

“Gue tinggal, ya?” sulutku dengan suara yang kuusahakan sesengak mungkin agar dia merasa terusik atau, setidaknya, merasa sedikit bersalah.

Seperti orang yang baru saja disadarkan dari hipnotis, Stephanie mengerjap-ngerjapkan matanya berkali-kali, kemudian beralih menatapku dengan tampang seolah-olah dia baru sadar aku berdiri di sini sejak tadi. “Eh? Mm…, tinggal aja, nggak apa-apa.”

Jawaban itu, tentu saja, membuatku melotot selebar-lebarnya.

WHAT?!

‘Tinggal aja, nggak apa-apa’?!

Are you freakin’ serious?

Aku sudah menunggunya selama lebih dari satu jam dan dia segampang itu bilang aku bisa meninggalkannya, seolah-olah usahaku bertahan di sampingnya selama lebih dari satu jam itu sebenarnya nggak perlu?! Gosh, aku benar-benar kesal karena semua ini!

“Ya udah!” pekikku kasar sebelum berbalik dan setengah berlari keluar kelas. Peduli amat dia sadar kalau aku marah besar padanya. Toh malah bagus kalau hal itu benar terjadi!

Yang benar saja, aku ini kan sahabatnya! Kenapa dia menyembunyikan hal yang mengusik pikirannya dariku? Kenapa dia tidak mau lebih terbuka dan malah mulai bersikap menyebalkan seperti itu? Apa begitu sulit untuk menceritakan masalahnya padaku? Apa aku tidak terlihat pantas untuk dicurhati baginya?

Shit, memikirkannya membuatku makin merasa tidak berguna!

“Luna!”

Aku menoleh dengan tampang kesal saat mendengar seseorang memanggilku, dan tampang kesal itu langsung berubah begitu menyadari siapa yang baru saja memanggilku.

Uh-oh, itu kan Kak Marcell.

Baiklah, kalian pasti bertanya-tanya kenapa cowok itu bisa tiba-tiba muncul di sekolahku.

Sebenarnya, hal ini sudah cukup sering dia lakukan sejak resmi menjadi mahasiswa di jurusan kedokteran UJJ alias Universitas Jakarta Jaya. Yup, akhirnya ayahnya yang keras kepala itu mengizinkannya untuk melepas jurusan business management dan mengejar mimpinya sendiri dengan masuk jurusan kedokteran. Hal ini berkaitan dengan camp yang beberapa waktu lalu kami ikuti. Memang, sih, dia tidak berhasil mendapatkan piagam peserta terbaik yang katanya sakti itu, tapi, lebih dari itu, ayahnya mendapatkan sebuah bukti bahwa dia bersungguh-sungguh terhadap mimpinya itu. Apalagi, kondisi kesehatan ibunya yang memburuk makin mendorongnya untuk berjuang menjadi dokter. Ayah mana yang tidak tergerak melihat tekad yang sedemikian kuat dari anaknya?

Oh, ya! Aku tahu ayah mana : ayahku. Aku yakin seratus persen, kalau aku dan beliau terjebak dalam situasi yang sama dengan yang dihadapi Kak Marcell, beliau tetap tak bakalan mengizinkanku berjuang untuk cita-citaku sendiri. Tapi, yah, aku bahkan tidak yakin beliau bisa dikategorikan sebagai ‘ayah’, sebab beliau sama sekali tidak terlihat peduli terhadapku—dan juga Juna. Sejak kecil, kami seperti menjalani kehidupan yang terpisah satu-sama-lain—beliau dengan dunia pekerjaan yang tidak pernah kumengerti, dan aku serta Juna dengan dunia persaudaraan yang lebih mirip cerita di film Tom and Jerry. Biar bagaimana pun, orang seperti itu rasanya tidak layak disebut ayah, jadi kalau kami terjebak dalam situasi yang dihadapi Kak Marcell, aku hampir yakin, tidak bakalan ada rasa iba di hati beliau—aku bahkan tidak yakin kata ‘iba’ ada dalam kamus beliau. Dengan kata lain, sama sekali tidak ada toleransi untuk memperjuangkan cita-citaku sendiri. Memikirkan kemungkinan parah itu, aku jadi sebal sendiri.

Oke, kembali ke topik. Kini Kak Marcell sudah benar-benar resmi menjadi mahasiswa di jurusan kedokteran. Letak UJJ yang dekat dengan sekolahku—hanya terpaut sekitar satu kilometer—dan rumah kami yang searah, memberinya inisiatif untuk menjemputku bila jam kuliahnya tidak berbenturan dengan jam pulang sekolahku. Awalnya, aku sok keberatan dengan ide ini dengan alasan tidak mau merepotkannya—walaupun dalam hati aku sudah jingkrak-jingkrak kesenangan karena jarang-jarang kesempatan seperti ini datang dalam hidupku yang tidak pernah jelas juntrungnya—tapi akhirnya aku setuju juga setelah dia berkali-kali meyakinkanku bahwa hal ini sama sekali tidak merepotkan baginya.

Nah, setelah melihatnya muncul lagi untuk menjemputku kali ini, aku jadi berpikir ulang mengenai perkataannya itu.

Maksudku, yeah, harusnya aku sudah keluar dari sekolah sekitar empat puluh lima menit yang lalu, dan aku malah baru menampakkan batang hidungku di jam-jam yang sangat terlambat seperti ini.

Well, aku cukup yakin bila besok dia menjemputku lagi di sekolah, dia tidak bakal memanggilku ‘Luna’ seperti yang baru saja dia lakukan, melainkan, ‘Hey, cewek ngaret yang kemarin keluar sekolah dengan gaya jalan mirip King Kong dan muka mirip pantat ceret gosong!’

Yeah, that would be horrible, karena sekarang aku memang berjalan menyerupai King Kong dengan wajah menyamai pantat ceret gosong.

Tidak peduli seberapa buruknya aku terlihat saat ini, aku tetap harus berusaha memperbaikinya. Maka, kupasang senyum termanis yang bisa kukeluarkan saat hatiku sedang dongkol dan menjawab sapaannya, “Oh, hei, Kak.”

Kak Marcell tersenyum lebar, “Kenapa lo? Kok kayaknya emosian gitu?”

Pertanyaan bagus. Aku memang sedang emosian. Dan tebak siapa penyebabnya?

Yeah, untuk pertama kalinya harus kukatakan, Stephanie yang menyebabkan semua ini. Kukatakan ‘untuk pertama kalinya’, sebab sebelumnya, cewek itu tidak pernah bikin aku kesal sampai sebegininya.

“Nggak, kok,” jawabku berdusta, “Sori lama. Tadi aku diminta bantu-bantu petugas piket dulu.”

Kak Marcell tersenyum semakin lebar, tidak sadar kalau aku sudah membohonginya dua kali. “Oh, ya udah, kalo gitu. Yuk, cabut.”

Aku mengangguk sambil masih berusaha tersenyum untuk menyembunyikan wajah pantat ceret gosongku.

Kami berdua berjalan menuju motor Ninja Kak Marcell yang diparkir rapi di lahan parkir depan sekolah—tujuannya tentu saja untuk memudahkan akses keluar-masuk pagar sekolah dan menghemat waktu. Kak Marcell menyodorkan helm merah yang sudah mulai akrab dengan kepalaku sejak beberapa hari yang lalu, bonus senyuman yang sepertinya sulit untuk dilepaskan dari wajah gantengnya itu. Oke, rasanya aku sudah terlalu sering memuji cowok ini ganteng—atau ganteng banget, atau luar biasa ganteng, atau ‘Wow…, cakep, Bo!’, atau apalah itu. Mungkin aku harus berhenti membeberkan semua kekagumanku dan menyimpan debaran jantung yang berdentum-dentum ini untuk diriku sendiri, just in case kalian semua sudah muak mendengar pujianku yang kadang—aku tahu—sangat berlebihan.

Aku memakai helm merah yang disodorkannya itu, dan dia juga memakai helmnya sendiri sambil memandang langit dengan mata disipitkan.

“Kayaknya mau hujan,” ujarnya. “Udah dua hari nggak hujan, pasti kali ini deres banget.”

Aku ikut mengalihkan pandangan pada langit yang ditutupi awan tebal berwarna abu-abu, menghalangi akses cahaya matahari yang biasanya kusukai. “Iya, deh, kayaknya. Mendungnya aja udah kayak gini.”

Kak Marcell naik ke tempat duduk. “Harus buruan kalo nggak mau basah kuyup sampe rumah.”

Aku mengerutkan kening. “Lo nggak bawa jas hujan atau gimana, gitu?”

Kak Marcell menaikkan kedua alis, “Nggak, ketinggalan di mobil.”

Aku duduk di belakang Kak Marcell sambil berlagak sok sewot. “Ini kan musim hujan, harusnya lo bawa jas hujan, dong!”

Kak Marcell, alih-alih merasa dikatai pelupa atau ceroboh, malah tertawa setengah geli. “Ya udah, Non. Ayo buruan kalo nggak mau kehujanan.”

Setelah mengatakan hal itu, motor yang kami tumpangi langsung meluncur di atas jalan raya, memberiku sensasi dari angin sepoi-sepoi yang tidak bisa berhenti kunikmati. Well, katakan saja aku norak, katrok, atau apalah itu, tapi walaupun sudah cukup sering mengendarai motor akhir-akhir ini, aku tetap suka memejamkan mata untuk menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahku—hari ini agak berbeda, sih, soalnya angin yang biasanya lembut itu berubah jadi kencang dan dingin, mungkin karena hawa mendung, atau mungkin juga karena Kak Marcell ngebut, tapi yang jelas, hal itu tidak jadi masalah besar buatku.

Perasaan rileks yang mendadak kurasakan, membawaku pada pikiran mengenai Stephanie. Dia lagi, dia lagi. Untung saja, emosiku tidak langsung meluap seperti tadi, tapi tidak dapat kupungkiri, memang kesal sekali rasanya terbayang-bayang terus seperti ini. Mungkin beberapa di antara kalian menganggapku lebay, atau terlalu membesar-besarkan sebuah masalah yang tidak seharusnya terlalu dipusingkan. Aku tahu, ada banyak hal yang lebih berguna buat dipikirkan di dunia ini—cara untuk membuat Kak Marcell suka padaku, misalnya (walaupun jawaban dari pemikiran ini masih nol besar, karena baru disuruh menyebutkan kelebihanku saja aku sudah bingung). Tapi, jujur saja, aku yakin, kalian akan memikirkan hal yang sama kalau berada di posisiku saat ini.

Bersahabat dengan Stephanie sejak SD sudah cukup untuk membuatku mengenalnya luar-dalam. Aku yang ada di sampingnya saat dia dikata-katai “anak pungut” saat SD. Aku yang ada di sampingnya saat dia menghampiriku dengan raut wajah berbinar-binar dan memekik, “Cowok yang baru pindah ke depan rumah keren banget, Lun!” Aku yang ada di sampingnya saat dia mengeluh, “Ternyata naksir cowok perfect itu nggak segampang di drama Korea, ya, Lun!” Dan masih aku yang ada di sampingnya saat dia kesepian karena nganggur sendirian sepanjang hari di rumah. Aku membiarkan dia memanggilku “Lun” sebagai kependekan dari “Culun”—karena sewaktu SD, namaku sering disalahgunakan dan diganti-ganti dengan semena-mena menjadi “Culun”, “Tuna”, atau “Lembek” (sebagai istilah lain dari “Lunak” yang masih mengandung namaku di dalamnya), dan Stephanie menganggapnya lucu—padahal, kalau orang lain yang memanggilku begitu, pasti sudah kugampar orang itu dengan segenap tenaga yang kupunya sampai mukanya bonyok. Aku membiarkan dia menunggui cowok pujaannya di perpustakaan mini setiap hari, plus menemaninya sampai bosan dengan mulut pegal-pegal karena tidak berhenti berceloteh panjang lebar—aku bukan Stephanie yang betah diam tanpa suara lama-lama. Dan aku juga membiarkannya menumpang di mobilku setiap kali dia butuh tumpangan, bahkan sempat iseng menawari untuk melatihnya menyetir mobil gratis—tentu saja iseng, karena aku kan tidak semahir itu dalam menyetir mobil.

Dari semua ilustrasi yang kugambarkan itu, sudah jelas, kan, seberapa besar usahaku demi sahabat satu-satunya itu?

Setelah aku menganggapnya sahabat terdekatku, dia malah bersikap seenaknya lantaran sudah berhasil mendekati David (sebenarnya, dalam keseharianku, aku lebih senang menyebutnya Barney), dan itu pun atas bantuanku. Maksudku, kalau bukan aku yang merekomendasikan dia pada Clara, mana mungkin dia bisa sampai sejauh ini sekarang? Dan setelah merasa cukup sukses, dia seenaknya saja menyabotase pembicaraan di antara kami dengan topik David dan David terus, bengong dengan wajah muram tak jelas saat aku mengajaknya bicara, mengacuhkanku, meninggalkanku segera setelah bel pulang sekolah berbunyi hanya untuk kencan bersama cowok itu, dan—oh, ya—satu lagi, sama sekali nggak mengindahkan larangan-laranganku lagi. Dekat dengan Jeremy Ericson adalah salah satu buktinya. Cowok rusak itu, aku yakin, bakal menyeret Stephanie ke dalam jurang penyesalan di kemudian hari—aku hiperbola banget, deh. Tahu nggak, sih, perasaanku kayak apa sekarang ini?

Yup, berasa nggak berguna. Setelah dia mendapatkan sedikit pamor, mendadak saja dia mencampakkanku dan menganggapku tidak ada, seolah-olah dia tidak tulus sahabatan denganku dan cuma mau memanfaatkanku kalau perlu saja. Cih, menyebalkan. Padahal, sebelumnya, aku tidak pernah menyangka Stephanie orang yang seperti itu. Aku selalu menganggapnya cewek manis yang pendiam dan enak diajak curhat.

“Lo lagi ada masalah, ya?”

Suara Kak Marcell yang masih terdengar jelas walaupun sedikit tertelan bunyi kendaraan-kendaraan bermotor menyentakku dari lamunan panjang. Well, mungkin tidak ada salahnya curhat sedikit padanya. Toh, orang bilang, nggak baik masalah dipendam sendirian, dan aku, entah sejak kapan—mungkin sejak aku jatuh cinta pada Kak Marcell—sudah menganggapnya sebagai salah satu orang yang kupercayai. “Seems so.”

“Masalah sama temen?” tanyanya lagi.

“Bisa dibilang begitu,” jawabku sekenanya. “Gue bener-bener lagi kesel banget sekarang ini.”

Well, Na, gue nggak tahu problem lo apa, tapi yang gue tahu, ada dua pilihan yang bisa kasih lo solusi,” sahut Kak Marcell.

“Apaan?” tanyaku dengan nada tidak berminat. Tahu masalahnya saja tidak, masa bisa memberi solusi? Kedengaran mustahil. “Datang dan jotos orang yang bikin kesel secara frontal, atau santetin dia ke dukun, gitu?”

Kak Marcell terkekeh kecil, “Bukaaan. Yang ada malah lo yang jadi pihak bersalah kalo begitu caranya.”

“Terus, gimana?”

“Pertama, lo sabar-sabarin aja, terus pelan-pelan ngejauhin orang itu,” jawabnya, “Atau kedua, lo ajak orang itu bicara face-to-face, empat mata, biar masalahnya cepet selesai. Itu sih saran gue, dan dari yang pernah gue sendiri alamin.”

Aku menghela nafas berat, “Thanks buat sarannya, tapi gue nggak yakin akan itu.”

“Yah…, secara logika, pilihan kedua terdengar lebih bijaksana. Tapi, gue yakin, cuma modal berani aja nggak cukup buat itu. Makanya, pilihan pertama terdengar lebih gampang buat dilakuin.”

Seems so,” jawabku lagi, monoton. “Gue masih bingung sama sikap orang itu yang aneh banget akhir-akhir ini.”

Kami berdua terdiam setelah itu, tanpa diiringi sepatah kata pun. Rintik hujan mulai turun, membuatku—mau-tak-mau—menutup kaca helm kalau tidak mau dapat fasilitas cuci muka gratis. Suasana masih sangat tenang saat tiba-tiba HP Kak Marcell berbunyi. Untungnya, motor sedang berhenti di traffic light, jadi, dia bisa dengan leluasa mengambil benda itu dari dalam kantung celana dan menyelipkannya di antara telinga dan helm—tentu saja setelah menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan.

Aku tidak tahu apa yang dibicarakannya di telepon, tapi mendadak saja, kusadari bahunya menegang dan gerakannya menjadi kaku. Aku mengerutkan kening dan menerka-nerka apa yang membuatnya begitu panik. Setelah mematikan telepon dan mengembalikan HP kembali ke dalam kantung celana, ia menoleh dengan wajah pucat pasi.

“Gawat, Na! Nyokap gue pingsan dan sekarang harus menjalani operasi dadakan.”

***

Aku berlari turun dari motor sambil melepas helm. Kedua tanganku kugunakan untuk menutupi kepala dari guyuran air hujan yang kini sangat deras—beberapa kali, sempat terlihat kilatan cahaya disusul bunyi gemuruh petir, bersahut-sahutan dengan angin kencang yang membuatku mendadak menggigil. Kak Marcell langsung berlari turun begitu mematikan mesin motor dan mengembalikan helm, menerjang masuk ke dalam gedung rumah sakit tanpa mempedulikan lantai yang licin karena percikan air hujan—yang sewaktu-waktu bisa membuatnya terpeleset sampai harus masuk UGD secepatnya.

Yah, aku akhirnya memutuskan untuk menemaninya ke sini, mengabaikan fakta bahwa sebenarnya aku tidak berkepentingan. Ini karena masalahnya urgent banget sampai-sampai aku merasa sangat egois saat dia mengatakan akan tetap mengantarku pulang dulu karena tidak mau membuatku kerepotan. Setelah meyakinkannya dengan alasan dia yang bakal kerepotan kalau benar-benar melakukan hal itu, akhirnya dia pun setuju untuk membiarkanku ikut ke sini.

Jujur saja, aku panik begitu sosoknya menghilang dengan cepat di balik pintu kaca otomatis rumah sakit. Yang benar saja, bagaimana kalau aku kehilangan sosoknya? Aku sudah bisa membayangkan akan luntang-luntung sendirian seperti anak hilang tanpa alat transportasi pulang dan berakhir ditanyai oleh satpam, “Kenapa, Dik? Kok mondar-mandir sendirian dari tadi?” lantaran dicurigai punya maksud buruk—mengingat kelakuanku memang agak mencurigakan. Tapi, aku bisa maklum. Pasti dia khawatir banget terhadap kondisi ibunya. Jadi, aku berusaha berlari dengan langkah tercepat yang bisa dilakukan seseorang yang sedang takut terpeleset dan menyusul Kak Marcell yang sudah mendahului jauh di depanku.

Untunglah, aku berhasil mengikutinya sampai ke depan kamar operasi tempat ibunya sedang dioperasi saat ini. Dari kejauhan, aku dapat melihat seorang pria paruh baya yang tampak sabar—yang kuasumsikan sebagai ayah Kak Marcell—serta teman Juna sekaligus adik Kak Marcell, Celina, sedang duduk dengan gelisah di kursi yang disediakan di luar ruang operasi.

“Kakak!” Celina langsung menghambur memeluk Kak Marcell—yang tentunya dibalas juga oleh kakaknya itu.

“Gimana keadaan Mama?” Kak Marcell bertanya dengan nada panik.

“Nggak tahu, Kak,” Celina mulai terisak, “Kita nggak dibolehin masuk. Aku tadi kaget banget, soalnya Mama tiba-tiba lemes dan muntah darah. Aku panik banget, Kak. Gimana kalo Mama kenapa-kenapa?”

“Hus,” Kak Marcell menenangkan adiknya yang kini mulai menangis ketakutan, “Udahlah, yang penting kondisinya sekarang aja. Berdoa aja semoga operasinya lancar, Lin.”

Kak Marcell membimbing Celina duduk lagi di tempat duduk. Dapat kulihat, dia melontarkan tatapan penuh arti pada ayahnya, yang dibalas dengan helaan nafas berat. Sepertinya ayahnya betul-betul khawatir sampai tidak sanggup berkata-kata.

Jujur, aku bingung harus berbuat apa. Masa iya, aku tiba-tiba nongol dan duduk di samping mereka dengan tampang tak berdosa? Bisa-bisa ayah Kak Marcell langsung mengusirku—melihat betapa tegang atmosfer yang menyelimuti dirinya saat ini, plus wajahnya yang merah padam, seolah-olah dia bisa meledak marah kapan saja. Atau aku harus berdiri di sini seperti orang bego dan tersenyum sok polos pada suster-suster yang berlalu-lalang dan menghardikku, “Jangan berdiri di tengah jalan, dong, Dik!”?

Sepertinya pilihan kedua terdengar mendingan.

Untungnya, aku tidak benar-benar ditabrak suster-suster, dan lebih untungnya lagi, ternyata operasi tidak makan waktu terlalu lama. Kurang lebih lima belas menit kemudian, seorang dokter diikuti empat suster sudah keluar dari ruang operasi dan menghampiri keluarga Kak Marcell.

“Puji Tuhan, Pak, kondisinya sejauh ini stabil. Sebentar lagi, Ibu akan dipindahkan kembali ke kamar. Setelah istirahat cukup, pasti keadaannya akan membaik,” begitulah kira-kira yang diucapkan si dokter sebelum menjabat tangan ayah Kak Marcell dan beranjak pergi. Sesuai ekspektasiku, ketiga orang yang sejak tadi menunggu dengan wajah harap-harap cemas itu kini menghembuskan nafas lega. Bahkan, Kak Marcell dan Celina langsung menghambur masuk ke dalam ruang operasi tanpa aba-aba.

Yang di luar ekspektasiku adalah, ayah Kak Marcell tiba-tiba mengalihkan pandangan padaku dengan sebelah mata dipicingkan dan bertanya, “Maaf, kamu siapa, ya?”

Cuma satu kata yang terlintas di benakku : uh-oh.

***

“Jadi, kamu temannya Marcell?”

Aku mengangguk.

Oh, ya, ternyata aku tidak jadi pingsan di tempat karena ditanyai seperti itu tadi. Beruntung, Kak Marcell menyelamatkanku dari situasi ‘bingung-mau-jawab-apa’ dan ‘takut-salah-jawab’ itu. Saat aku sedang sibuk ber-“err” “mm” dan “anu” ria, mendadak saja, kepalanya nongol dari ruang operasi untuk mengajak ayahnya masuk. Melihatku, dia langsung tahu kalau ayahnya sedang bingung melihat kehadiranku yang sama sekali tak diundang ini. Dia mengajakku ikut masuk ke dalam ruang operasi dan memperkenalkanku sebagai temannya. Thanks to him, karena aku tidak perlu ngomong apa-apa lagi selain senyam-senyum sok ramah, dan sesekali mengangguk-angguk.

Situasi sudah sedikit tenang saat ini, jadi ayahnya mulai menanyaiku ini-itu. Melihat dari gelagatnya yang penuh selidik, sepertinya Kak Marcell jarang sekali membawa cewek—setidaknya di depan orang tuanya.

Wow, aku jadi merasa tersanjung di saat yang tidak tepat.

“Siapa namamu?”

“Mm… Luna, Om,” jawabku sambil masih berusaha tersenyum ramah. Ayahnya manggut-manggut.

“Luna, ya?” ulangnya, lebih untuk memastikan, sepertinya. “Kamu kok bisa ikut ke sini?”

Mendengar pertanyaan terakhirnya itu, Kak Marcell buru-buru menyela, “Pa, udah, deh! Jangan interogasi macem-macem. Dia cuma ikut karena tadi lagi bareng aja, dan Papa juga mendadak banget ngabarin kejadian ini.”

Ayah Kak Marcell terkekeh, “Kamu malu ya, ketahuan Papa kalau lagi PDKT sama cewek?”

Kak Marcell mendelik, “Papa!”

Ayahnya malah semakin terbahak-bahak. Sepertinya benar dugaanku, Kak Marcell memang jarang terlihat membawa cewek—atau mungkin ini malah pertama kalinya?

Wow, aku tersanjung lagi—dan di saat yang tidak tepat lagi.

“Udah, ah, Pa. Jangan aneh-aneh. Malu sama Luna,” Kak Marcell mendesis, “Lagian kami beneran cuma temenan, kok!”

“Lho? PDKT juga nggak ada salahnya, Cell,” ayahnya tampak tidak berminat menyudahi godaan yang bikin pipiku panas ini, “Lagian kamu nggak pernah ngenalin cewek ke Papa.”

Nah, kan, benar apa kataku.

“Udah, deh, Pa,” Kak Marcell mencela, “Jangan ngomong yang aneh-aneh.”

Entah hanya halusinasiku atau bukan, sepertinya Kak Marcell jadi rada salting. Aku tahu, pasti dia bukan salting karena suka padaku, melainkan karena aibnya terbongkar—yaitu nggak pernah punya cewek walaupun sudah dibekali wajah seganteng dewa. Hal itu membuatku, mau-tak-mau, menaruh harapan lebih padanya.

Tiba-tiba, pintu ruang operasi menjeblak terbuka, dan seorang gadis masuk ke dalam ruang operasi. Gadis itu mengenakan kemeja hitam dan celana panjang biru tua, serta menenteng tas Prada yang pernah kulihat di katalog fashion beberapa saat yang lalu. Tas itu harganya luar biasa mahal. Melihatnya, satu-satunya hal yang terbersit di pikiranku hanyalah, ‘Wow, cewek ini pasti tajir banget’. Kira-kira dia siapa, ya?

Tapi… tunggu dulu. Kok wajah cewek ini sepertinya familiar, ya?

Aku menyipitkan mata untuk mengenali wajah cewek itu. Oh, ya! Aku ingat sekarang. Dia kan Dian, adik dari Kak Andi yang kutemui di Harjuna saat seminar pertama. Kenapa dia bisa ada di sini? Memangnya dia ada hubungan apa dengan keluarga Kak Marcell?

“Om!” Dian memekik dengan nada panik, “Gimana keadaan Tante?”

Ayah Kak Marcell langsung berdiri dengan wajah dihiasi senyum, “Syukurlah, Dian. Keadaannya sudah baik sejak operasi tadi.”

Wajah Dian yang tadinya panik berubah lega, kemudian ia menjawab, “Syukurlah, Om. Aku tadi khawatir banget saat dikabari. Aku buru-buru ke sini, tapi kejebak macet lumayan parah.”

Dian berjalan mendekati ibu Kak Marcell, saat tiba-tiba kurasakan tatapan matanya berserobok dengan tatapan mataku. Alisnya langsung berkerut. “Lho? Ini teman Kak Marcell yang waktu itu, kan?—maaf, siapa namamu? Aku lupa.”

Aku mengangguk, “Luna,” jawabku singkat.

“Kok kamu bisa ada di sini?” tanyanya to the point.

“Err… aku tadi lagi bareng sama Kak Marcell, terus tiba-tiba dapet kabar mendadak ini. Jadi aku ikut ke sini aja,” jawabku, mencoba menjelaskan kejadian sebenarnya.

Raut wajah Dian berubah paham, “Oh, gitu…”

Kak Marcell menghampiri Dian dengan seulas senyum terukir di wajahnya. “Dian, kamu dateng juga. Udah makan siang?”

Dian mengangguk, juga dengan senyum manis, “Udah. Tadi kebetulan lagi hang out sama temen-temen, jadinya udah sempet makan siang. Oh, iya, Kak Andi nggak bisa datang, soalnya ada meeting, mungkin nanti malam dia baru bisa datang—atau, maksimal, besok.”

Kak Marcell mengangguk-angguk maklum, “Sori, ya, Di. Jadi ngerepotin kamu sama Kak Andi.”

“Oh, nggak apa-apa,” Dian spontan menjawab, “Lagian udah lama juga aku nggak ketemu Tante dan Om. Berhubung aku baru balik dari Singapura, jadi aku merasa sudah seharusnya aku ngejenguk Tante.”

“Makasih atas perhatiannya, ya, Dian. Ayo, duduk di sini aja,” ayah Kak Marcell menyela sambil menepuk-nepuk kursi di sebelahnya yang kosong.

“Oh, ya, makasih, Om,” Dian duduk di kursi itu sambil berbasa-basi sejenak. Melihat interaksi antara Dian dengan keluarga Kak Marcell, terbersit sebuah kesimpulan bahwa hubungan mereka sangat dekat. Mungkin keluarga mereka bersahabat sebelum Dian pergi ke Singapura, atau semacamnya. Yang jelas, mereka terlihat begitu akrab satu-sama-lain.

“Dian, kapan mau ngenalin pacarmu ke Om?” ayah Kak Marcell, yang sepertinya suka sekali dengan hal-hal berbau seperti ini, menggoda Dian.

“Ah, Om, bisa aja,” Dian menjawab, “Aku belum punya pacar, kok.”

“Belum punya pacar?” Kak Marcell tiba-tiba nimbrung, “Ah, masa?”

“Iya, beneran. Aku belum punya pacar.”

“Oh, gitu…”

Dapat kulihat dengan jelas, raut wajah Kak Marcell langsung berubah. Matanya menunjukkan binar tak wajar dan senyumnya bertambah lebar. Mungkin hanya aku yang menyadari perubahan raut wajah itu, tapi aku sedikit-banyak bisa menebak apa maksudnya.

Tunggu dulu. Jangan bilang kalau dia…?

***

“Sori, ya, Na, gara-gara gue, lo jadi pulang sesore ini,” Kak Marcell berkata begitu kami berdua keluar dari gedung rumah sakit.

“Nggak apa-apa,” jawabku, “Cuma telat dua jam aja, nggak masalah.”

Jujur saja, perubahan raut wajah yang kulihat dari Kak Marcell tadi terus mengusik pikiranku. Benarkah dia suka pada Dian? Seingatku, binar sumringah itu selalu terlihat di kala seseorang tertarik kepada sesuatu—atau jatuh cinta pada orang lain, atau hal-hal semacam itu. Binar seperti itu belum pernah kulihat pada wajah Kak Marcell sebelumnya—bahkan, binar itu berbeda dengan binar yang biasa ditunjukkan Kak Marcell saat membicarakan soal lagu-lagu favoritnya (yang mayoritas adalah lagu-lagu kuno) maupun film-film action keren.

Apakah benar, selama ini aku terlalu geer menanggapi sikapnya yang selalu ramah terhadapku itu? Jangan-jangan, dia bersikap seperti itu terhadap semua cewek yang ditemuinya?

“Na?”

Panggilan Kak Marcell menyentakku dari lamunan. Saat aku tersadar, ternyata dia sudah duduk di atas tempat duduk motor sambil menatapku penasaran.

Haruskah aku blak-blakan bertanya padanya?

Aku takut sakit hati nantinya, tapi… bukankah lebih baik tahu lebih dulu daripada menaruh harapan terlalu besar dan nantinya kecewa? Lagipula, tadi dia sempat bilang bahwa bicara face-to-face, empat mata, pada seseorang adalah pilihan yang lebih bijaksana. Aku tahu, aku tidak berhak sok ikut campur masalah pribadinya, tapi aku sangat penasaran. Apalagi, baru-baru ini aku sadar kalau aku ternyata mencintainya. Daripada semua kesalahpahaman ini menjadi semakin parah, lebih baik aku memastikan lebih dulu.

“Mm… Kak,” panggilku lirih.

“Ya?”

“Kak Marcell…,” kalimatku kugantungkan di udara, karena merasa ragu sejenak untuk menyambung, “Suka sama Dian, ya?”

Kak Marcell tertegun mendengar pertanyaan itu keluar dari mulutku. Mungkin dia tidak menyangka aku bakal menanyakan hal seperti itu kepadanya. Tapi, well, sebelum ini, aku juga tidak menyangka bakal menanyakan hal seperti itu kepadanya.

Kak Marcell menghela nafas berat, “Lo bener-bener kepingin tahu?”

Aku mengangguk pelan, walaupun kurang lebih sudah bisa menebak jawabannya. Biasanya, orang yang malu mengakui suatu kenyataan akan bicara berbelit-belit, dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan tidak penting—yang secara tidak langsung malah memberikan pengakuan terselubung.

“Dian itu…,” Kak Marcell menggantungkan kalimatnya, dan aku—dengan bodohnya—masih berharap semoga dugaanku salah. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya, dan aku mulai berpikir untuk menyudahi saja pembicaraan ini sebelum Kak Marcell menjawab lebih jauh. Namun, dia sudah terlebih dahulu melanjutkan, “…cinta pertama gue sejak SMP.”

Dan saat itulah pertama kalinya aku tahu bagaimana rasanya patah hati karena terlalu berharap.

***

Setelah pengakuan yang membuat hatiku serta-merta hancur itu, aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Aku lebih banyak diam selama perjalanan pulang, padahal biasanya aku paling banyak bicara. Berkali-kali Kak Marcell mengajakku bicara, tapi aku tidak ingat apa saja yang kujawab. Aku bahkan tidak peduli semasam apa tampangku saat ini, yang kupedulikan hanyalah bagaimana caranya menahan rasa sakit yang berdenyut-denyut di dadaku. Literally, bukan hanya perumpamaan saja.

Kak Marcell sepertinya menyadari bahwa sikapku agak berubah sejak dari rumah sakit tadi, dan beberapa kali dia sempat bertanya penyebabnya. Karena aku tidak mungkin menjawab ‘gara-gara elo’, jadi aku berbohong lagi dengan mengatakan bahwa suasana hatiku masih buruk karena masalah dengan temanku. Untungnya, Kak Marcell percaya dan bisa mengerti.

Motor mulai memasuki kompleks perumahanku, kemudian belok di tikungan dan berhenti di depan rumahku. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam ketika aku turun dari motor dan mengucapkan terima kasih atas tumpangan yang diberikan Kak Marcell kepadaku.

“Kalo besok masalahnya belum selesai, jangan ragu buat curhat sama gue,” Kak Marcell berkata, masih dengan senyum yang sama dengan yang selalu dia tunjukkan.

Oh, please, jangan memberiku harapan palsu lagi untuk yang kesekian kalinya.

“Oke,” jawabku dengan suara yang kuusahakan setenang mungkin. Setelah mengembalikan helm ke tangan Kak Marcell, aku buru-buru menerjang masuk ke dalam rumah.

Satu-satunya hal yang terpikir olehku adalah masuk ke kamar dan mengurung diri sampai besok pagi, tapi rencana itu langsung gagal.

Sebab, tepat saat aku menapakkan kaki di ruang tamu, aku langsung bertatapan muka dengan orang itu.

Orang itu…

…adalah ayahku.

***

Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, yang jelas aku syok mengetahui beliau berdiri dengan wajah penuh amarah di hadapanku, hanya terpaut jarak satu meter dariku.

Kenapa beliau bisa ada di sini?

Bukankah biasanya, beliau selalu pulang setelah lewat tengah malam? Kenapa beliau bisa muncul di hadapanku saat ini?

“Pa…”

“Luna!” Teriakan beliau membuatku mundur selangkah. Ekspresi yang beliau tampakkan benar-benar berbeda dari ekspresi cuek yang biasa menghiasi wajah itu. Rahang yang mengeras, wajah yang memerah, mata yang melotot garang, semuanya langsung membuatku bergidik ngeri. “Pulang sama siapa kamu barusan?!”

“P-pa…”

“Kamu udah nggak bener ya, sekarang! Selama ini, Papa pikir sudah waktunya melepas kamu untuk hidup mandiri! Nggak tahunya, kamu malah merusak dirimu sendiri!”

“Pa, denger penjelasanku dulu!” Aku membentak, berharap beliau akan menyudahi segala omong kosong ini.

“Nggak ada lagi yang bisa dijelaskan!”

“Pa, tapi aku—“

“Tutup mulut besar kamu!”

Aku tertegun mendengar panggilan kasar yang beliau lontarkan kepadaku. Tanpa dikomando, aliran darah naik ke ubun-ubunku.

“PAPA!”

“Apa lagi yang bisa kamu jelaskan dari seorang cowok nggak bener yang nganter kamu pulang setelah larut dan bawa motor?!” Papa membentak. Mendengar bentakan itu, aku yang semula masih syok, menjadi berang.

“Dia bukan cowok nggak bener! Dan ada alasannya kenapa aku bisa pulang jam segini!” Bentakku dengan suara tak kalah keras, “Oh, dan satu lagi. Apa salahnya bawa motor?! Apa motor itu barang haram yang seharusnya dibakar aja dan nggak usah diciptain?!”

Nah, sekarang Papa giliran tertegun. Mungkin tidak menyangka aku bakal melawan beliau setelah sejak tadi hanya ber-“Pa” dan “Pa” ria saja.

“Jangan ngelawan Papa, ya!”

“Kalau Papa nggak keterlaluan, aku nggak bakal ngelawan!”

Papa tertegun lagi. Melihat ekspresi beliau yang sepertinya kaget banget, aku sedikit merasa senang karena bisa menunjukkan bahwa tidak selamanya aku bisa ditindas-tindas seenak hati oleh beliau. Aku juga bisa membela diri, aku juga bisa melawan—beliau hanya tidak sadar itu.

Satu-satunya hal yang tidak aku sadari adalah, Mama ternyata juga ada di sini—sedang berdiri di belakang Papa, dengan wajah sama geramnya, dan kedua mata yang juga mengarahkan pandangan tajam kepadaku. Uh-oh.

“Luna!” Mama membentak. “Kamu sudah rusak betulan, ya! Apa kamu nggak tahu seberapa bahayanya motor itu?! Apalagi dengan cowok yang nggak jelas asal-usulnya seperti itu! Tambahan lagi, ini sudah malam. Bagaimana kalau kamu diapa-apakan? Cowok seperti itu sudah kelihatan ugal-ugalan bahkan dari penampilan luarnya saja!”

Aku semakin geram mendengar teriakan bernada tinggi itu.

Salah. Mama salah besar!

Hanya karena cowok itu bawa motor, berjaket kulit, memakai helm serta celana panjang macho, bukan berarti dia ugal-ugalan atau berandal! Kenapa Mama begitu negative thinking soal cowok-cowok yang bawa motor?

“Terus, memangnya kenapa?! Aku nggak suka diatur-atur! Kalian nggak pernah pedullin aku, dan tiba-tiba ngatur-ngatur seenak jidat?!” aku berteriak.

“LUNA!” Bentakan ini keluar dari mulut Papa. Rahangnya kian mengeras, dan dia maju beberapa langkah dengan kedua tangan terkepal di sisi tubuhnya, seolah-olah bersiap ingin menghajarku. “Kamu memang benar-benar rusak! Berani sama orang tua!”

“Apa kalian bisa disebut orang tua, sih?” Balasku sarkastis, dan langsung dihadiahi tamparan di pipi kiri oleh Papa.

“Jaga mulut kamu, Luna!” Papa membentak.

“Jaga tangan Papa! Jangan sembarangan nampar orang!” Aku membalikkan ucapannya, dan sebagai gantinya, mendapatkan satu tamparan lagi di pipi kanan. Kali ini jauh lebih keras daripada sebelumnya.

PLAK!!

Aku memegangi pipiku yang sepertinya kini berubah merah oleh tamparan Papa.

Panas. Sakit.

Air mata menyeruak di pelupuk mataku, siap untuk tumpah.

“Kamu memang layak diberi pelajaran, Luna!” Mama mengimbuhi dari belakang bahu Papa. “Supaya kamu sadar apa yang sudah kamu lakukan!”

Aku benar-benar tidak tahan dengan situasi ini. Rasanya seluruh pertahananku hendak runtuh, dan semua kenangan burukku bersama kedua orang tuaku langsung berseliweran di otak, seolah-olah memerintahkanku untuk membenci mereka. Aku mencoba berdiri tegak, dan menahan air mataku agar tidak tumpah—aku tidak ingin terlihat lemah di depan orang lain.

“AKU BENCI PUNYA ORANG TUA KAYAK KALIAN!”

Setelah meneriakkan kalimat itu, aku berlari cepat dan menerjang pintu kamarku. Kukunci pintu kamar agar tidak ada yang bisa masuk dan menggangguku.

“Ini semua gara-gara Papa, sih!”

Samar-samar, terdengar suara Mama dari ruang tamu.

“Lho? Kok bisa gara-gara Papa?”

Kali ini suara Papa.

“Papa nggak becus didik anak!”

“Mama ini gimana, sih? Yang nggak becus didik anak itu Mama!”

“Lho? Papa kok malah menyalahkan Mama, sih?”

“Mama seharusnya introspeksi diri, dong!”

“Papa jangan asal tuduh, ya!”

Cukup! Aku sudah nggak tahan lagi dengan semua ini!

Kututup kedua telingaku dengan tangan dan kubiarkan tubuhku merosot ke lantai.

Rasa sakit di kedua pipiku masih terasa, membawaku pada kenangan-kenangan buruk yang pernah diberikan Papa dan Mama terhadapku—hingga sampai ke kenangan buruk terakhir yang mereka berikan, yaitu baru saja. Jika diizinkan memilih, aku pasti menolak untuk dilahirkan di keluarga ini. Aku benci banget harus dilahirkan dalam keluarga seperti ini.

Sejak aku kecil, kedua orang tuaku jarang berada di rumah—yang artinya, mereka jarang bertemu muka. Sekalinya bertemu muka, kenapa mereka malah bertengkar? Mereka memang nggak pernah mengerti aku sejak kecil. Segala hal yang seharusnya menjadi privasiku, mereka kekang dengan embel-embel status sebagai orang tua. Segala kasih sayang yang seharusnya kudapatkan dari mereka, tidak pernah sedikit pun kurasakan.

Aku lelah. Lelah sekali dengan situasi ini.

Kupejamkan mataku perlahan, dan kelebat-kelebat bayangan langsung menyergapku—Stephanie, lalu Kak Marcell, dan berganti dengan wajah kedua orang tuaku.

Dan malam itu, air mata yang sudah lama kupendam, jatuh perlahan-lahan.

TO BE CONTINUED

F-I-N-A-L-L-Y!:”

For the 8th chapter to finish, I feel so glad:’D The ninth chapter would be the beginning of the real conflict, but I think the conflict would show up in the end of chapter 9, not in the beginning. This part, is also a beginning of another lighter conflict 🙂 I’m thinking of adding some more new characters. Maybe not characters, but a character 🙂 for Luna’s part only, so the character won’t show up in the next chapter 😀

This part, is a total decrease in length. The last Luna’s part was 29 pages, and this one’s just 12 pages and takes longer time to finish T^T terribly sorry for this, but I hope you still enjoy it well 😀

Next chapter : 9

Download the Ebook?

download-icon2

14 thoughts on “[CHAPTER EIGHT] Little Stories of Ours

  1. Sori baru komen ._.
    Gue udh nunggu part selanjutnya 😉
    Penasaran gimana ceritanya stephanie & luna (dua2nya pokoknya)
    Keep writing yaa!

    Btw, nti lama2 nama sekelas muncul ya? Wkwkwk

    1. Sekali-sekali pingin bikin sing karaktere banyak._. Soale project ceritaku habis ini karaktere sedikit banget, jadi harus merefreshingkan(?) pikiran dengan cerita sing banyak karakter e dan bikin pusing kayak gini._. #wongedan #refreshingkokmalahbikinyangmumeti #makluminajalah
      Semoga nggak bingung ya, soale di chapter selanjute ada nambah karakter lagi._.v #belumkapokjugarupanya

Got something to say?