[STACY’S CURSE] Special Halloween : Torment or Threat (Chapter Two)

sc-tot

(P.S : as usual, this story is a collaboration with Viona Angelica from shining-hearts. This part of the story probably still isn’t that scary, but still, be careful. My tip is, you better read this alone. Dark room is more likely to bring you the vibe of scariness. By the way, I’m not gonna reveal who’s writing whose POV until you guess. So I’ll be waiting! Oh, and fyi, if you missed the prologue, you can go straight here to check it out. And if you missed the first chapter, click here. Happy reading!)

DON’T EVER LOOK BEHIND YOUR BACK WHILE READING THIS STORY…

SPECIAL HALLOWEEN STACY’S CURSE

TORMENT OR THREAT

(CHAPTER TWO)

Christian POV

Aku segera menarik Leo keluar dari kamarku dan cepat-cepat menuju ke loteng.(Yah memang rumahku punya loteng untuk menyimpan barang bekas) Sesuai dugaanku, sekarang loteng ruamhku sudah berdebu dan pengap. Padahal dulu saat aku masih suka bermain-main di sini, loteng ini tak kotor-kotor amat. Tetapi ada satu hal positive dari loteng ini, yaitu segel-segel hantu yang dulu kutulis dengan tinta–yang kucomot dari ruang kerja ayahku–masih dapat terlihat dengan jelas menandakan segel itu masih bisa mencegah hantu masuk.

Aku menyuruh Leo untuk duduk di dalam segel berbentuk dasar lingkaran di lantai. Kusahut lampu minyak beserta korek api yang sudah berdebu karena jarang sekali dipakai. Segera kusulut sumbu lampu tersebut dan meletakkannya di hadapan kami sambil berharap kalau tak ada Aburakago atau Aburasumashi yang datang dan…. Ah sudahlah itu tak penting sekarang.

“Chris, gue perlu ngomong sesuatu sama lo.” Leo akhirnya membuka mulutnya yang terkatup erat-erat sejak tadi. “Kita ini lagi dikejar roh halus. Kenapa lo malah ngajak gue pergi ke tempat serem kaya gini!? Lo emang bego atau udah stress?”

“Sst… Jangan keras-keras. Gue punya alasan tersendiri buat ngajak lo ke loteng.” Bisikku. “Waktu gue umur sepuluh tahun, gue nyoba-nyoba buat bikin segel hantu, bentuknya kaya yang ada di dinding sama lantai di sini. Kalo lo tanya kenapa? Itu semua gara-gara gue pingin nyegel hantu kaya di anime Kekkaishi…, kalo lo nonton sih. Nah buat ngelakuin itu, gue harus ngegambar segel-segel ini. Dan nyokap bakal ngamuk kan kalo lo ngegambarin tembok dapur atau kamar? Maka dari itu gue ngegambar di tempat di mana orang jarang banget ngunjungin yaitu di sini.”

“Lo… Dari kecil udah suka yang berhubungan sama makhluk-makhluk astral gitu ya?” Katanya sambil menatapku dengan tatapan ngeri.

“Jadi… Setelah gue cerita panjang lebar kaya tadi, lo cuma nginget bagian awalnya aja?” Tanyaku sambil memicingkan mata.

“Nggak juga sih.” Katanya singkat sambil mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum tanda ia MEMANG hanya mengingat–lebih tepatnya mendengarkan bagian awalnya.

“Oke, singkatnya…, di sini itu tempat paling aman di mana roh yang bukan manusia termasuk Yurigame-san nggak bisa ngejar kita.” Jelasku.

“Bentar-bentar.” Ia menyela. “Sebenarnya Yuri-yuri itu siapa sih?”

Well, karena lo tanya kayak gitu, gue bakal cerita lagi. Ceritanya lumayan panjang sih. Tapi kali ini dengerin baik-baik. Kalo nggak, gue bakal santet lo sekarang juga.” Ancamku.

Wowowowo…. Woles Bro.” Leo memekik sambil menjaga jarak denganku.

Aku menarik napas sejenak, lalu melanjutkan. “Jadi, waktu kakek gue baru pulang dari Jepang, dia ngasih gue oleh-oleh berupa boneka Okiku. Boneka ini punya ‘jiwa’ tersendiri dan rambutnya bisa panjang layaknya manusia. Kalo lo inget, waktu pertama masuk kamar gue, lo juga ikut mantengin Yurigame yang lagi duduk manis di rak.”

“Jadi, dari dulu sampe sekarang lo suka main sama boneka? Banci lo!!” Lagi-lagi Leo mengatakan hal yang tak penting.

“Gue pamit dulu ya. Gue mau ngambil boneka voodo di kamar buat nyantet elo.” Kataku sambil beranjak berdiri.

“Eh iya deh iya, sorry-sorry, lanjutkan.” Leo menahan kakiku dan menggiringku untuk kembali duduk.

“Nah suatu hari, gue mulai nyoba permainan papan ouija. Pertama main, ide gue adalah buat nanya identitas si hantu yang lagi hadir di sana sama gue. Dan hasilnya bikin gue kaget. Namanya Yurigasaki, penghuni boneka Okiku punya gue—Kalo lo tanya kenapa nggak gue namain Yurigasaki aja sekalian, itu karena gue udah telanjur ngasih nama duluan sebelum main papan ouija. Trus, dia juga bilang kalau dia adalah penjaga gue apapun yang terjadi tapi dia juga akan menghukum gue kalau ada sesuatu yang buruk yang gue lakuin. Sayangnya, gue barusan ngelakuin hal buruk itu.

Kali ini wajah Leo berubah drastis. Tampaknya ia kembali teringat kejadian tak diharapkan di kamarku barusan. Setelah menarik napas panjang dan mengeluarkannya, ia menatapku penuh keyakinan dan berkata, “Nggak. Gue yakin kalau yang gue lihat bukan Yurigame-san lo itu.”

Wow, akhirnya lo bisa nyebut namanya dengan benar! Ingin sekali aku mengatakan itu tetapi kutahu sekarang bukan saat yang tepat. “Kenapa lo bisa yakin?”

Oke, bukannya aku tak mempercayai sahabatku ini, tapi ia baru sekali terlibat dalam dunia gaib. Sangat jarang orang awam yang bisa merasakan kehadiran mereka…, atau bahkan mendengar mereka seperti yang baru terjadi pada Leo.

Kecuali…, kecuali…,

Roh itu sangat kuat hingga bisa menembus dimensi pembatas antara orang awam dengan roh halus.

“Gue bisa ngerasain Chris, dia bukan Yurigame-san, dia sesuatu yang lain yang bisa jadi sepuluh kali lipat lebih menakutkan dari Yurigame-san.” Ia menjawab dengan mantap dan penuh keyakinan.

Entah hanya perasaanku atau memang bulu kudukku mulai meremang. Padahal biasanya aku tak pernah seperti ini. Maksudku…, kalian tahu sendiri kan dari kecil aku sudah bergumul di dunia gaib dan bertemu berbagai macam roh halus. Tapi entah kenapa perasaanku saat ini berkata lain. Entah bagaimana pula keyakinanku tentang roh yang mengintip kami tadi adalah Yurigame mulai pudar.

Ditengah suasana menegangkan ini, tiba-tiba terdengar lagu kiss the rain dari suatu tempat.

Dari mana asal suaranya?

Setahuku, sama sekali tak ada music box dengan lagu kiss the rain di rumah ini. (Kalaupun ada pasti lagunya bukan lagu galau ini Setelah mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru loteng yang remang-remang ini, aku baru sadar kalau suara tadi berasal dari ponsel Leo! Ia mengangkat teleponnya sambil berdiri di pojok ruangan, bercakap-cakap dengan seseorang diujung telepon.

Sialan.

Di saat aku sedang diselimuti rasa takut malah ponsel sialan milik temanku ini berbunyi! Dan parahnya lagi, benda terkutuk itu berhasil membuatku dilanda rasa ngeri sesaat.

Hanya beberapa saat kemudian ia sudah mengantongi kembali ponsel dengan casting hitam polosnya.

Rasanya aku ingin sekali menyahut ponsel itu dan membantingnya hingga hancur lebur. Itu semua karena ia–si ponsel sialan–telah berbunyi di saat tak tepat. Tapi aku tahu kalau benar kulakukan, pasti Leo akan segera menggamparku. Tak hanya itu, ia bisa minta ganti rugi! Aku tak mau menyia-nyiakan uang hanya untuk menukarinya, lebih baik uang itu kugunakan untuk beli persediaan lilin baru kan?

“Kenapa?” Akhirnya kulontarkan pertanyaan main stream yang biasa ditanyakan pada orang yang baru selesai menelepon.

“Gue udah disuruh nyokap pulang.” Katanya santai sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana training yang ia kenakan. “Kalo nggak, gue bakal dikancingin dan nggak boleh pulang.”

“Ya udah deh sono pulang, daripada lo harus nginep di rumah gue lagi kaya bulan lalu.” Aku mengusir–menganjurkannya untuk pulang.

“Tapi…” Ia menggantungkan kalimatnya di udara. Wajahnya kembali menegang, keringat mengaliri dahinya. “Kalo gue kenapa-napa gimana?”

“Haish…” Aku segera berjalan turun. Pura-pura tenang agar ketakutan sahabatku tak bertambah besar.

Kalian pasti pernah dengar kalau hantu bisa menjahilimu atau malah merasukimu saat kau ketakutan kan? Nah, aku tak mau hal itu terjadi padanya. Aku bisa terlalu repot untuk melakukan pengusiran roh jahat dari tubuh besarnya yang pasti tak akan bisa kuangkat bila ia sampai pingsan.

“Yakin nggak papa? Kalo tiba-tiba gue diikutin roh itu dan dia nyelakai gue kayak di film-film gimana?” Leo yang sudah berdiri di luar rumah kembali berbalik.

“Ah, kalo lo takut, bawa aja nih.” Aku melemparkan sebuah boneka teru teru bozu yang biasa kugunakan sebagai charm. (Oke aku tahu ini adalah boneka pemanggil ataupun penangkal hujan, tapi toh charm orang berbeda-beda dan boneka ini manjur kok) “Simpen aja tuh teru-teru bozu buat kenang-kenangan, lagipula gue bisa bikin lagi.”

“Ih gue nggak takut ya!” Leo membantah namun tetap menangkap boneka serba putih itu. “Malah boneka lo ini yang bikin gue merinding, bentuknya aja kayak pocong hiii….”

“Cih nggak usah ngeles lo!” Teriakku saat ia sudah mulai masuk ke mobil, bersiap meluncur pergi.

Akupun juga segera berbalik masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu depan. Setelah memastikan jendela maupun pintu sudah terkunci, aku kembali masuk ke kamar. Kudongakkan kepala untuk melihat ke arah jam kesayanganku.

Ia menunjukkan angka dua.

Aku membuka lemari pakaianku yang terbuat dari kayu, lalu mengulurkan tangan untuk membuka laci yang ada di dalamnya.

Ternyata ia masih ada di sana.

Aku mengangkat boneka mungil itu dari sana dan menatapnya. Mata hitam bulatnya memantulkan cahaya hingga tampak berkilat-kilat, membuat kesan seakan ada ‘jiwa’ yang sedang menatapku balik.

“Yurigame-san…” Panggilku lirih. “Kalau aku sudah melakukan kesalahan, maafkan aku ya. Aku terpaksa melakukannya. Terserah kalau kau mau menghukumku, aku akan menerimanya. Lagipula aku pantas mendapatkannya.” Setelah menyelesaikan kalimat itu, kuletakkan kembali ia di atas rak, meloncat ke atas kasur, lalu tidur.

***

Aku mendengarnya. Amat jelas malah.

Barusan, ada banyak sekali bisikan tak jelas di telingaku. Bisikan-bisikan aneh yang walaupun aku sudah menutup telinga, tetap berhasil memenuhi pendengaranku. Lebih parahnya, bisikan tadi diakhiri dengan teriakan amat keras yang membuatku langsung terjungkal. Teriakan itu menyerukan ‘Christian’ yang tak lain adalah namaku.

Kali ini aku yakin seratus persen kalau yang mengusikku sejak tadi bukanlah Yurigame-san. Dan itu berarti ini pertanda buruk. Amat sangat buruk.

BRAK!!!

Tiba-tiba terdengar sebuah suara amat keras dari luar kamar. Suara itu seperti…, meja yang dipukul mungkin? Perasaanku mengatakan kalau sebaiknya aku kembali tidur saja. Lagipula mama dan papaku kan ada di lantai atas, pasti mereka akan turun. Tapi rasa penasaranku tak membiarkanku tidur nyenyak bagai bayi di kasur. Aku malah mengulurkan tangan untuk meraih gagang pintu dan membuka daun pintunya. Kuhentakkan kakiku keluar dari kamar sambil mengawasi sekitar. Kuintip dapur kecilku, tempat sumber suara tadi.

Tempat ini diselimuti kegelapan.

Satu-satunya penerangan yang ada hanyalah cahaya bulan yang masuk melalui celah-celah ventilasi yang ditempatkan di atas pintu belakang.

Bulu kudukku kembali berdiri. Namun kali ini, entah kenapa kakiku gemetaran, dilengkapi pula dengan perasaan tak enak di benakku. Detakan jam dinding serta suara serangga ribut di luar melengkapi suasana seram yang kurasakan. Jantungku berpacu lebih cepat. Sepertinya hati nuraniku pun sedang meneriakan untuk tidak menyalakan lampu dan segera mencari perlindungan di loteng. Tetapi keingintahuan terkutukku membawa tanganku ke sakelar lampu.

Dan akhirnya aku menekan tombol itu.

Mataku langsung menatap sesosok cowok yang kukenali, sangat familiar malah. Dia adalah si Lemon. Ia berdiri membelakangiku, lengkap dengan jaket Manchaster United kesayangannya yang selalu ia pakai ke mana-mana.

“Astaga Lemon!” Pekikku. “Ngapain lo malem-malem ke sini? Bukannya tadi lo udah pulang? Jangan-jangan lo mau ngerampok ya?” Candaku.

Namun ia tak bergerak sedikitpun. Tangannya dikepalkan di samping badan.

“Mon? Lo nggak papa? Perlu gue anter ke rumah?” Aku menawarkan tumpangan sebaik mungkin.

Tak ada jawaban.

Akhirnya aku memutuskan untuk bersandar di tembok yang ada di dekatku sambil masih menatap punggungnya dengan heran. Ia sama sekali tak bergerak semilipun. Tangannya yang dikepalkan kemudian merenggang.

Tiba-tiba sesuatu muncul di kepalaku.

Tunggu dulu.

Jaket MU kesayangan Lemon sudah dibakar Leo setahun yang lalu.

Sial.

Berarti yang berdiri di depanku bukanlah Lemon! Terkutuklah kau kemampuan indigoku! Kalau bukan karena kemampuan ini, aku seharusnya tak dapat melihat hantu yang menjelma jadi Lemon.

Tapi aku tahu kalau langsung lari terbirit-birit bukanlah hal yang seharusnya kulakukan. “Ya udah. Kalau lo nggak mau ngikut, gue balik deh ya.” Aku berusaha berpamitan setenang dan senormal mungkin walaupun jika didengar dengan teliti suaraku agak bergetar.

Aku melangkahkan kaki meninggalkan dapur yang lampunya masih kubiarkan menyala menuju ke kamar. Sebenarnya aku ingin sekali sembunyi di loteng, tapi apa boleh buat, loteng terlalu jauh untuk dicapai dari dapur. Jantungku berdetak seirama dengan detikan jam dinding yang tak henti-hentinya mengeluarkan suara tik dan tok.

“Chris? Lo mau ke mana? Katanya mau nganter gue pulang.” Suara yang persis sama seperti milik Lemon terdengar dari dapur.

Shit! Shit! Shit!

Aku segera lari masuk ke dalam kamar, lalu mengunci pintu. Kusahut bolpoin yang ada dan melukiskan segel-apa-saja-yang-kuingat pada pintu kamarku. Pintu itu terus digedor-gedor dengan sangat keras dari luar bagaikan seorang maling yang sedang berusaha mendobrak masuk.

Akhirnya selesai!

Kuhela napas lega dan kurebahkan diri ke atas kasur. Suara gedoran itupun juga sudah berhenti menandakan segel yang kubuat berhasil.

Hingga tiba-tiba sebuah suara membisikan namaku terdengar.

Namun kali ini bisikan itu lembut dan tenang. Suasana di sekitarku pun menjadi hangat dan bersahabat. Aku bisa merasakan kalau siapapun atau apapun itu ia tak berniat mencelakaiku seperti Lemon jadi-jadian tadi.

“Christian, kau harus hati-hati.” Bisikan samar-samar itu kembali terdengar.

Aku diam saja sambil terus mendengarkan kalau-kalau ia akan menyambung perkataannya. Benar sekali dugaanku, sesaat kemudian terdengar bisikan lain, bunyinya, “Roh itu sangat kuat, bahkan aku tak dapat menahannya.”

“Siapa kau?” Bisikku selirih mungkin.

“Aku Yurigame.”

Seketika itu juga angin malam yang dingin kembali merasuk ke dalam tubuhku, menandakan roh itu sudah kembali ke asalnya. Sesaat kemudian, aku sudah terlelap.

***

 

Leo POV

Kalau saja aku berhasil melupakan penampakan mata hitam itu semalam, aku pasti bakalan bisa tidur dengan nyenyak. Sayangnya, baru membaca kalimat pertamaku saja, kalian pasti tahu bahwa makna kalimat itu justru sebaliknya. Dan yep, kalian benar sekali. Aku memang tidak bisa tidur semalaman lantaran terbayang-bayang terus.

Asal kalian tahu saja, biasanya aku bukan tipe orang penakut. Dan kalimat tadi bukan sekedar kalimat bualan yang dipenuhi kenarsisan belaka—walaupun biasanya aku memang agak narsis, sih. Apalagi, setelah mempelajari buku-buku fisika dan biologi yang selalu memaparkan alasan logis untuk hal-hal supranatural, aku jadi yakin bahwa hantu itu tidak ada. Tapi, tak dapat kupungkiri, kejadian semalam itu benar-benar tak bisa dijelaskan dengan teori.

Mana boneka teru-teru bokong yang diberikan Chris padaku itu seram banget pula.

Oke, memang aneh bahwa boneka yang dikasih nama ‘bokong’ bisa seram—apalagi bokong kan aslinya imut, bukan seram. Tapi, serius, deh. Kalian harus percaya padaku. Semalam, boneka bokong itu duduk memandangiku dengan tatapan horor di sudut kamar—tempat terjauh yang bisa kupikirkan untuk meletakkan si bokong putih.

“Apaan lo lihat-lihat?!” bentakku padanya di tengah malam, saat aku terbangun secara tak sengaja lantaran merasa dipandangi—yang kemungkinan besar ulah si bokong itu. Lalu aku tidur lagi.

Dan terbangun lagi.

“Makan tuh bokong lo!” teriakku pada si bokong putih. Namun, yang diteriaki dua kali malah hanya duduk diam seolah-olah dia tak habis melakukan apa-apa.

Dasar bokong sialan.

Itulah mengapa, saat aku terbangun untuk yang ketiga kalinya semalam, aku memutuskan untuk membuang boneka itu ke tong sampah—masih tong sampah kamarku, karena aku takut kalau perkataan Chris soal boneka itu bisa melindungiku ternyata benar. Dan, well, ternyata dia tak lagi menggangguku setelah itu.

Sialnya, gara-gara ketakutan, aku jadi tak bisa memejamkan mata barang sedetik pun setelah boneka itu kubuang.

Itulah alasan utama mengapa pagi ini aku nongol di sekolah dengan kantung mata melebihi panda dan tubuh loyo yang membuat teman-temanku tertawa terbahak-bahak.

“Minggir! Ada panda ngamuk mau lewat, nih!” teriak salah satu pembuat onar paling berisik di kelasku, Alfred, keras-keras saat aku masuk ke kelas dan bersiap melempar tasku ke atas kursi dengan gaya dramatis—supaya ada setidaknya satu hal keren yang kulakukan walaupun penampilanku kusut banget pagi ini.

“Kakek Panda mau ke mana?” cewek centil menyebalkan bernama Khloe mengejekku begitu melihat kacamataku melorot sampai nyaris meluncur jatuh kalau saja hidungku tidak mancung. Coba dia bukan cewek. Pasti sudah mental tubuh kurusnya itu ke Antartika—siapa tahu dia bisa nongol sedikit di film The Penguins of Madagascar.

Seperti biasa, aku terlalu sebal untuk menggubris perkataan-perkataan sarat sindiran dari teman-temanku itu. Aku hanya diam sambil melirik mereka penuh dendam, kemudian melakukan aksi melempar tas ke atas kursi yang keren itu—sayangnya, mereka malah hanya cekikikan dan melengos (padahal aku berharap mereka bakal kaget dan berteriak, “Ampun, Leo! Ternyata lo keren banget pagi ini! Tapi bakal makin keren kalo kami nggak lo bunuh.”)

Yang tambah sial lagi, saat aku berbalik, muka Chris yang masam sudah menantiku.

“Hei,” katanya muram. Kantung matanya ternyata lebih spektakuler daripada milikku—membuat wajahnya kelihatan seperti hantu sungguhan.

Aku terlonjak mundur dengan kaget dan nyaris menghantam meja di belakangku dengan mengenaskan.

“Anjrit!” Pekikku, “Dasar tukang bikin serangan jantung!”

Chris menghela napas berat. “Lo tahu nggak, lo aneh banget pagi ini?” Katanya tak nyambung.

Alisku langsung berkerut. “Maksud lo apaan? Soal penampilan gue yang buruk rupa lagi, nih?”

“Bukan,” jawabnya, “Biasanya gue berjuang keras ngagetin elo, elonya lempeng-lempeng aja. Eh, hari ini, giliran gue cuma nyamperin elo tanpa ada niat buat ngagetin, tiba-tiba reaksi lo kayak gitu.”

Aku memutar bola mata. “Lo udah ngaca belum sih, pagi ini?”

“Belum,” jawabnya seolah-olah ia tak paham pertanyaan terakhirku itu hanya bermakna sindiran, dan bukannya pertanyaan sungguhan. “Gue nggak ada waktu buat ngaca pagi ini. Semalem gue habis mimpi buruk.”

“Mending lo, masih bisa mimpi. Lah, gue?” Aku mengangkat alis, “Tidur aja kagak bisa.”

“Bukan mimpi beneran, Bego,” sanggahnya datar, “Maksud gue, kejadian yang gue harap bisa dikategorikan mimpi buruk.”

“Omongan lo makin aneh.”

“Makasih banyak.”

Aku memandangi Chris putus asa, kemudian mendesah berat. “Apa lo juga diganggu?” Tanyaku pada akhirnya.

Chris terdiam lama sekali, kemudian mengangguk. “Ya,” katanya, “Kurang lebih seperti itulah.”

“Lo buang aja dia,” saranku, “Kemarin, sejak gue buang dia, dia udah nggak ganggu lagi, kok.”

Dahi Chris serta-merta berkerut. “Buang dia? Mana bisa?”

“Ya bisa, lah,” jawabku, “Emang dia seberat apa?”

“Seberat Lemon yang dirasuki roh nggak jelas,” jawabnya, “Ditambah jaket Manchester United yang paling nggak beratnya udah seperempat kilo sendiri.”

Untuk beberapa detik, aku melongo dengan bingung. “Tunggu,” selaku, “Kayaknya kita agak nggak nyambung. Teru-teru bokong pake jaket Manchester United seperempat kilo? Yang ada dia kebenam di dalem, kali.”

Mata Chris melotot. “Teru-teru bokong?!”

“Oke. Teru-teru bolong berarti,” koreksiku.

Teru-teru bozu, Oon!”

Teru-teru borju?”

Teru-teru bozu!”

“Ah, ya udah, lah. Nggak penting!” teriakku, “Daripada kita teru-teruan mulu, mending lo jelasin deh apa maksud lo soal dirasuki roh Manchester United itu.”

“Dirasuki roh Manchester United?”

“Kurang kata ‘dan’! Puas lo?” Aku memelototi Chris dengan tampang stres.

Chris melengos sambil berdeham, tampak agak canggung dengan pelototanku yang memang terkenal seram itu.

“Jadi,” mulainya dengan nada muram, “Kemarin malem gue kebangun karena ada suara berisik dari dapur.”

“Kejadiannya udah jauh setelah gue pulang?”

“Bisa dibilang begitu,” jawabnya, “Pokoknya, gue ke dapur buat ngecek kondisi. Dan gue lihat seseorang lagi berdiri membelakangi gue. Pas gue nyalain lampu, gue sadar kalo orang itu mirip Lemon. Yah, awalnya sih gue kira itu memang Lemon. Tapi, belakangan, gue baru sadar sesuatu.”

“Apa?”

“Dia bukan Lemon.”

“Kok lo bisa yakin banget?”

“Ya karena dia pake jaket MU yang tahun lalu lo bakar,” jawab Chris muram. “Jaket itu kan seharusnya udah nggak ada sekarang.”

“Tunggu dulu,” selaku, “Jaket MU?”

“Iya.”

“Jaket MU yang mana?” Aku mengerutkan alis. “Gue nggak merasa pernah ngebakar jaket MU orang, tuh.”

Giliran dahi Chris yang berkerut. “Hah? Kok dulu Lemon bilang kalo elo yang ngebakar jaketnya?”

“Mana gue tahu!” Pekikku, setengah tak terima karena sudah dituduh semena-mena. “Kali aja dia bohong. Lo, kan, tahu sendiri si Lemon itu orangnya kayak apa. Hobi fitnah. Mungkin aja jaket itu sebebernya masih sehat walafiat dan yang lo lihat kemarin itu memang dia.”

Kerutan di dahi Chris tampak semakin dalam. “Ah, masa?” gumamnya, “Lemon emang pembohong, dan bukannya nggak mungkin dia ngefitnah elo. Tapi gue nggak yakin kalo dia bohong soal jaketnya kebakar.”

Aku mengangkat alis dengan tersinggung. “Jadi, lo nuduh gue?”

“Enggak,” sanggahnya, “Bisa jadi pelakunya bukan elo. Tapi masalah kebakar, gue rasa jaket itu emang kebakar atau, minimal, ilang ke mana gitu, lah.”

“Tapi masa roh yang ngejar elo bego bener?” protesku, “Kan dia seharusnya tahu kalo lo juga udah tahu soal terbakarnya jaket Lemon.”

“Itu sih kalo tujuan dia kepingin menjebak gue dan membuat gue menghampiri dia,” Chris berkata, “Kenyataannya, bisa aja dia cuman mau nakut-nakutin gue.”

Aku hendak membuka mulut untuk memprotes, tetapi Chris sudah menyambung duluan.

“Lagian dari mana si Lemon bisa masuk ke rumah gue? Itu kan udah lewat jam tiga pagi.”

“Kalo dia emang belum pergi dari rumah lo gimana?” usulku, “Kan kemarin dia lari entah ke mana. Liz sama Anna juga kayaknya nggak berhasil nangkep.”

“Nggak mungkin lah dia ngetem berjam-jam di rumah gue,” Chris menyela, “Kalo cuma mau nyari tempat persembunyian, di deket rumah gue ada penginapan murah. Atau kalo mau gratis, ada juga pekuburan sepi.”

“Pertama, Chris,” selaku, “Lemon itu forever bokek. Semurah-murahnya penginapan, dia nggak bakal sanggup ngebayar. Yang ada malah dia ngompol duluan lihat mesin kasir. Dan kedua,” aku menghela napas berat, “Nggak ada orang waras yang sudi tidur di pekuburan.”

“Gue?”

Exactly. Lu emang nggak waras.”

Chris memandangiku dengan tatapan penuh penilaian selama beberapa detik. Kemudian, dia mendesah berat, dan berkata, “Entahlah, Leo. Gue hanya yakin yang semalam itu bukan dia. Kita udah menyinggung mereka.”

Mereka?” aku mengerutkan dahi, “Maksud lo?”

“Roh-roh halus,” jawab Chris, “Gue nggak tahu apakah itu Yurigame yang menghukum gue atau malah roh lain yang lebih berbahaya. Yang jelas, mulai sekarang, kita nggak akan bisa hidup tenang.”

“Kok lo bisa yakin banget?”

“Gue udah lama berurusan dengan dunia gaib,” katanya, “Gue bisa merasakan kalau ada hal supranatural nggak beres yang terjadi.”

“Dan… mereka ngeganggu kita karena…?”

“Gue nggak yakin,” jawab Chris, “Tapi kemungkinan besar, karena kecurangan kita di permainan kemarin.”

Jantungku kontan berdegup kencang. Rasa merinding yang berdesir-desir merambati sekujur tubuhku, sampai rasanya kakiku gemetaran. “Masa?” tanyaku setengah mendesak, “Bisa aja itu cuma fenomena biasa dan nggak ada sangkut pautnya sama kecurangan kita, kan, Chris? Masa ada hantu yang ngamuk cuman gara-gara kita curang dikit pas mainan gitu?”

“Itu bukan hanya mainan, Leo,” Chris membalas, dan kurasa aku mulai membenci caranya mengucapkan namaku, “Gue… sejujurnya, gue belum pernah mencoba nyurangin permainan yang itu. Gue nggak tahu apakah gue kemarin menghilangkan step yang bener dan apakah hantu itu nggak sungguhan dateng. Bisa aja gue menghilangkan step yang salah, dan mengubah step yang salah juga, sehingga roh itu masih tetep dateng.”

“Hah?!”

“Yah, lo tahu, lah. Dalam suatu permainan, roh dateng di satu step tertentu. Kalau step itu dihilangkan, mereka nggak bakalan dateng. Tapi kalo step lain yang dihilangkan, mereka masih tetep dateng, tapi kadang nggak bisa berinteraksi karena ada step yang dihilangkan itu.”

“Dan,” simpulku sinis, “Lo nggak tahu di step mana hantu itu dateng?”

“Nggak,” jawab Chris. Lalu, menyadari raut bete di wajahku, ia buru-buru menyambung, “Maksud gue, susah mastiinnya. Hal kayak gitu nggak selalu jelas. Lebih sering ambigu gitu, deh.”

Rahangku mengeras seketika mendengar pernyataannya. Debar jantungku semakin kencang hingga rasanya dadaku nyaris jebol.

Oke. Aku marah sekarang. Aku sangat marah. “Jadi, maksud lo, lo nggak tahu apakah permainan kemarin aman atau nggak, dan lo masih aja ngelakuin itu?”

“Awalnya gue cukup yakin kalo itu aman, tapi—“

Fuck off! Gue kira permainan lo itu udah bener-bener terjamin keamanannya!” potongku sengak, sampai-sampai dapat kurasakan beberapa orang menoleh kesal ke arahku. “Lo itu mikir apa sih?” lanjutku dengan volume suara lebih pelan, “Cari cara yang seratus persen aman, dong, harusnya!”

“Itu udah yang paling aman!” Chris balas membentak. “Lo pikir cuman elo doang yang ketakutan? Sekarang gue juga takut, tahu!”

“Trus, itu salah siapa?”

“Ya salah kita!”

“Enak aja kita!” semburku, “Gue kan udah bilang untuk menjamin dulu keamanan permainan lo!”

“Dasar keras kepala!” Chris maju selangkah dengan tangan terkepal. “Buka mata lo! Lo itu juga terlibat! Jangan maunya bener terus!”

“Gue terlibat, tapi gue nggak salah. Yang salah itu elo, nggak ati-ati!” bentakku.

“Oke deh yang selalu bener dalam segala hal!” Chris mendengus, “Tahu gitu gue nggak setujui tawaran lo.”

Aku ikut mendengus. Kepalan tanganku rasanya panas ingin menonjok cowok sinting di hadapanku itu. Peduli amat aku bakal disantet, dikutuk, atau dijadikan tak bertangan seumur hidup. Yang penting aku kepingin dia merasakan ketakutan seperti yang kurasakan, dan bukannya berkata “Gue juga takut” dengan tingkah supersantai.

Shit. Aku merasa dijebak.

“Kalo lo merasa nggak perlu menerima tawaran gue dan nyatanya lo terima juga, berarti itu salah siapa?” tantangku sambil mengambil ancang-ancang untuk melancarkan aksi tonjokku kalau-kalau dia membalas dengan sengak sekali lagi.

“Iya, iya! Salah gue! Lo selalu bener!” bentaknya, “Dewa Leo yang Mahaagung!”

Oke. Itu sengak. Jadi, kulayangkan tinjuku tepat ke mukanya. Ia sepertinya sama sekali tidak menyangka aku bakal tiba-tiba menyerang seperti ini, tapi bodo amat. Yang penting dia terjengkang ke belakang dengan mengenaskan, dan aku bisa sedikit melampiaskan rasa takut sekaligus marah yang membuncah di dadaku, tertimbun sejak semalam.

Seisi kelas langsung menjerit-jerit tanpa aba-aba. Beberapa melontarkan umpatan kaget yang tidak layak dipublikasikan, beberapa–yang aku curiga dipimpin oleh Alfred–berteriak, “Asyik! Tonjok-tonjokan! Hajar, man, hajar!” dan sisanya, yaitu cewek-cewek centil gaje yang hobi menjadikanku bulan-bulanan, berbisik-bisik, “Eh, Leo bisa nonjok orang ternyata. Kena pula! Kirain bakal meleset. Lo tahu, lah, itu kan Leo.”

Aku bahkan sudah tidak peduli lagi soal keadaan sekitar. Fokusku berpusat pada Chris yang saat ini tengah mengaduh-aduh kesakitan sambil memegangi hidungnya yang kena tonjok—oh, ya, cewek-cewek, berhubung ini Leo, maka tentu saja hidungnya nggak bakal patah (Leo terlalu lemah buat mematahkan hidung orang, kan?).

“Bajingan!” Chris mengumpat saat menyadari sedikit darah mengalir keluar dari hidungnya.

Kelas tambah riuh. Cowok-cowok semakin gencar menyerukan kalimat persuasif untuk memicu perang, cewek-cewek centil memekik, “Astaga, Christoper bisa ngomong ‘bajingan’!” dan “Namanya Christian, bego!”, kumpulan anak-anak alim saling berpelukan di sudut ruangan, takut kalau bakal terjadi tawuran atau apalah.

Sementara Chris berdiri di sana, memelototiku penuh dendam.

“Salah gue apa sama lo?!” teriaknya, “Dasar nggak tahu diuntung! Gitu, tuh, jadinya kalo kebanyakan teori! Ngadepin hal beginian sedikit, panik sendiri trus nyalah-nyalahin orang! Gue nggak habis pikir, kok ada ya, orang yang ketakutan, trus nyalahin orang lain gara-gara ketakutannya itu?”

Untuk sesaat, aku nyaris mematung. Perkataannya itu menusuk tepat di titik lemahku yang terdalam. Dia ada benarnya. Aku ketakutan, dan aku mencoba menyalahkannya karena itu. Aku tidak mau hidupku hancur gara-gara keisengan kecil yang kubuat. Aku terlalu sulit mempercayainya.

Namun tetap saja aku kesal setengah mati pada Chris. Dia lebih banyak salah dan masih saja santai-santai soal itu. Dan lagi, aku sudah terlanjur memulai semua ini. Nggak lucu kalau aku tiba-tiba mundur.

“Gue bersikap kayak gini, nggak lain adalah karena elo yang udah menjebak gue dalam situasi sulit!” balasku, “Lo pantes ngedapetin tonjokan itu!”

“Mati aja lo!” Chris berseru, “Gue nggak salah apa-apa!”

“Nggak salah apa-apa gimana? Lo harusnya mastiin keamanan permainan itu sebelum nge-iya-in tawaran gue!”

“Lo nggak ngerti soal dunia roh, nggak usah banyak bacot!” Chris mengumpat, “Lo pikir sesederhana itu ngelaksanain tawaran lo? Lo pikir ada cara yang bener-bener aman? Lagian gue udah belain elo, udah ngasih elo pelindung, eh kayak ginian yang gue dapet!”

“Seberbahaya-berbahayanya dunia roh itu, baru ngasih tahu efek samping saat udah terlanjur itu tetep salah, Oon! Gue kemarin—“

Diganggu versi lo itu kayak apa? Paling cuman berasa ada yang ngeliatin aja udah lo anggep diganggu!” potongnya, “Shit! Gue kemaren didatengin, dilihatin beneran, dan diajak ngomong. Singkatnya, yang dalam posisi lebih bahaya di sini itu gue, bukan elo! Lo nggak bisa nyalah-nyalahin gue seenak jidat!”

“Oh ya? Itu kan emang salah lo! Kalo aja lo double check sebelum eksyen, pasti nggak bakal—“

“LEO! CHRISTIAN! ADA APA INI?!”

Seperti disihir, seisi ruangan mendadak hening. Jantungku langsung berhenti berdetak.

Aw, shit. Gara-gara suasana ribut, kami jadi tak dengar kalau bel sudah berbunyi. Sekarang apa yang harus kukatakan? Pak Sardi sudah berdiri di depan kelas sambil memelototi kami berdua dengan garang, dan saat itu pulalah aku tahu bahwa semua reputasi yang telah kubangun hancur seketika.

Dan situasi bertambah parah saat beliau melihat sisa darah di ujung hidung Chris.

“Leo! Kamu yang melakukan itu?!” teriak beliau sambil berderap ke arahku dengan marah.

Cowok-cowok lain yang suka sekali bentrokan siswa-guru cekikikan dan berteriak, “Iya, tuh, Pak!”

Sialan. Kubunuh juga mereka setelah ini.

“Siswa macam apa kamu ini?!” Pak Sardi membentak, “TIDAK-ADA-BAKU-HANTAM-DI-KELAS! Apalagi saat pelajaran saya!”

Aku melirik Chris dan nyaris berbohong untuk mengkambinghitamkannya kalau saja aku tidak ingat ada terlalu banyak saksi bejat di kelas ini. Akhirnya aku hanya mendengus sebal.

“Temui saya di kantor guru, sepulang sekolah!” beliau membentak lagi, “Sekarang saya akan keluar. Tidak sudi saya mengajar di kelas yang sudah ternodai murid-murid seperti kamu!”

Dan begiitulah, beliau berderap keluar kelas dengan marah. Meninggalkan aku dalam panik, ketakutan, dan amarah yang tak terbendung.

***

Kalau saja aku bisa bilang bahwa acara pemanggilan ke kantor guru itu berakhir dengan perbincangan sabar yang bersahabat. Kenyataannya, aku malah dihukum dan dihina-hina. Hukumannya lebih berat daripada apa pun : menata buku di perpustakaan sepulang sekolah.

Okelah, kedengarannya remeh banget. Tapi, kalau kalian tahu seberapa berantakannya buku-buku di perpustakaan sekolahku, dan betapa tidak terurusnya ruangan pengap itu setelah bertahun-tahun ditelantarkan begitu saja, kalian pasti bakal berpendapat sama denganku.

Mana kondisi mentalku belum pulih pula sejak pertengkaran dengan Chris tadi pagi.

Kabar lebih buruknya lagi, Lemon menghilang entah ke mana.

Maksudku, benar-benar menghilang. Orang tuanya melapor pada sekolah soal kehilangan putra mereka. Liz dan Anna tidak masuk sekolah, mungkin mencari cowok itu. Aku dan Chris diinterogasi oleh wali kelas saat istirahat, karena beliau mendengar bahwa kami berdua termasuk orang-orang yang mengadakan acara dengannya kemarin—untungnya, beliau tidak benar-benar tahu apa tepatnya acara itu. Interogasi yang berlangsung terasa sangat dingin, terlebih karena aku dan Chris masih menolak untuk berbicara satu sama lain. Namun, tetap saja, keputusan akhir dari interogasi itu menambah masalah kami menjadi sekitar sepuluh kali lipat semula : kami harus ikut andil dalam mencari Lemon.

Aku tidak kuat lagi. Perasaan bersalah terus menghantuiku sehingga rasanya seolah-olah hilangnya cowok itu adalah kesalahanku. Padahal kan itu kesalahannya sendiri. Dia bisa saja lebih tenang menghadapi permainan kemarin, dan semua ini tak bakalan terjadi. Sekarang, aku jadi terjebak dalam bermacam-macam masalah yang—sebenarnya—tidak lebih parah daripada ketakutan yang terus merebak di hatiku.

Termasuk saat ini. Saat aku sedang sibuk menata buku di perpustakaan yang sumpeknya minta ampun. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore, tepat tiga jam setelah jam sekolah berakhir. Semua siswa berikut guru-guru sudah pulang, dan ruangan-ruangan lain di sekolah sudah dikunci. Pekerjaanku masih banyak. Kalau bukan karena aku membawa kunci perpustakaan, aku pasti sudah panik setengah mati. Tambahan lagi, lampu perpustakaan ini sudah lama rusak. Jadi, suasana pasti gelap gulita kalau saja tidak ada cahaya bulan di kejauhan.

Berkali-kali, angin dingin yang semilir merambat masuk melalui celah jendela perpustakaan, menggelitik tengkukku. Aku harus berdoa tiap beberapa menit sekali karena takut sesuatu yang tak terduga mendadak terjadi. Sayangnya, seberapa banyak pun doa yang kupanjatkan, tak ada yang mampu menghilangkan keresahanku.

Kini, di tengah kegelapan, otakku mulai bekerja secara tak kusadari. Aku teringat sepasang mata hitam berkilat-kilat yang menatapku tajam kemarin malam. Aku teringat bisikan lirih yang memanggil namaku. Aku teringat ketakutan yang kurasakan saat aku terbangun tiga kali dari tidurku yang tidak nyenyak semalam. Bayangan-bayangan itu membuat jantungku berdegup kencang untuk yang kesekian kalinya. Keringat dingin tanpa sadar mengucur dari pelipisku, dan aku semata-mata yakin itu bukan karena pengapnya ruangan, sama seperti Chris yang yakin bahwa penampakan yang dilihatnya semalam bukan Lemon. Tanganku bergetar pelan, hingga setiap beberapa menit sekali, aku menjatuhkan buku-buku ke lantai.

Kesendirian membuat seluruh inderaku semakin jeli. Aku dapat mendengar bunyi jangkrik di luar, seperti menertawakan kengerian tak berdasar yang kurasakan. Aku dapat melihat kegelapan tak berujung di lorong panjang antara dua rak buku yang tinggi-tinggi. Aku dapat merasakan belaian angin di kulitku yang entah mengapa terasa begitu menakutkan.

Dan yang paling parah, aku dapat mencium wangi bunga yang semerbak tak wajar.

Bukan. Wangi itu bukan berasal dari luar. Lagipula, sekolahku tidak punya tanaman bunga yang wangi baunya. Wangi itu semata-mata berasal dari suatu titik yang entah berada di mana. Pikiran logisku yang positif meyakinkanku bahwa di suatu tempat di perpustakaan ini, ada tanaman bunga yang dipelihara dan baru mekar saat malam hari (kau tahu, bunga yang sering dibahas saat pelajaran Biologi). Namun, batinku yang lebih dominan membisikkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

Sesuatu yang sangat tidak beres.

Leo…”

Lagi, aku dapat mendengar suara bisikan serak yang kudengar semalam dalam benakku. Kelebatan mengerikan mengenai visi mata yang berkilat-kilat menyergapku tanpa ampun. Aku seolah dapat mendengar suara tawa yang entah berasal dari mana.

Bulu kudukku kontan berdiri tegak. Semilir angin bukan lagi terasa menyegarkan bagiku yang terperangkap di ruangan pengap ini, melainkan terasa menyiksa. Aku merasa sesuatu sedang memanggil-manggilku, dan kengerian tetap menyergap walau aku tahu itu hanya kelebat memori belaka.

Memori hanya datang kembali saat kita melihat atau merasakan suatu hal yang berkaitan atau mirip, sisi logis otakku yang kurang ajar mulai mengingatkanku akan suatu kalimat yang pernah kubaca di buku psikologi. Berarti, kalau kau mengingat memori itu saat ini, kau sedang melihat atau merasakan hal yang serupa. Yang artinya

Cukup.

Aku menegur pemikiranku sendiri.

Tidak. Tidak mungkin. Aku pasti hanya paranoid semata. Mungkin aku terlalu sering nonton film horor sehingga semua hal logis jadi kukaitkan pada hal-hal tak masuk akal.

Misalnya wangi bunga yang tak kunjung hilang sejak tadi.

BRAK!!

Pemikiran itu membuatku tak sengaja menjatuhkan sebuah buku kuno dengan hard cover ke lantai. Tanganku gemetar hebat. Aku tidak berhasil mengendalikan rasa panik yang menyergapku.

Buru-buru, aku berjongkok untuk memungut buku itu. Kakiku gemetaran saat aku sudah berhasil meraihnya.

Serr…

Angin dingin yang bahkan lebih kencang lagi membelai tengkukku. Semerbak wangi bunga yang menguar tercium semakin kuat. Aku merinding ngeri.

Kalau kau sudah semakin merasakannya, sisi logis otakku berkata, Berarti kau sudah semakin dekat dengannya.

Jantungku berdegup kencang tanpa kompromi. Mataku jelalatan menjelajah seisi ruangan tanpa kuperintah…

…lalu menangkap kegelapan di bawah kolong meja yang tepat berada di depan mataku.

Dan inilah titik dimana mimpi burukku dimulai.

Di sana, di kolong meja yang gelap, aku melihatnya. Sebentuk wajah pucat yang menyeringai kejam dengan mata berkilat-kilat yang sama dengan yang kulihat kemarin malam. Bedanya, mata itu kini nampak hidup, berkat adanya bercak-bercak darah di sana-sini. Dua buah lubang yang tampak seperti lubang hidung menggaris memanjang tanpa adanya batang hidung. Bibir yang sobek hingga ke samping kanan-kiri telinga menyunggingkan senyum keji yang mengucurkan darah berbau amis.

Halo, Leo,” sebuah suara berat dan serak mendesis mengerikan. Mataku melotot.

“AAAAAAHHH!!”

Aku spontan berteriak kencang dan berlari menjauh. Namun, dari dalam kolong meja, sebentuk tangan pucat mengerikan menarik kakiku. Tangan itu kurus kering, mirip tangan penyihir tua. Kukunya yang tajam menyobek kulitku hingga rasanya aku nyaris menyerah untuk meloloskan diri.

Lalu aku teringat buku hard cover yang masih kubawa. Segera kuhantamkan buku itu ke tangan yang mencengkeramku, dan saat kurasakan cengkeraman kuat itu mengendur, aku memanfaatkan kesempatan untuk melarikan diri.

Serrr…

Angin dingin yang seolah berbisik menggelitik telingaku saat aku mencoba berlari dengan terpincang-pincang menuju pintu.

Leo…” suara itu berbisik lagi. Aku panik setengah mati. Jantungku berdegup kencang sampai-sampai rasanya aku bisa pingsan kapan saja. Dengan gemetaran, tanganku akhirnya berhasil meraih gagang pintu, sementara dapat kurasakan sesuatu merambat di lantai di belakangku.

Aku menarik gagang pintu dengan brutal, dan alangkah terkejutnya aku menyadari bahwa pintu itu terkunci.

Aku mencoba mendobrak berkali-kali, namun aku sadar hanya menghabis-habiskan waktu. Sosok itu sudah merambat semakin dekat di belakangku. Aku dapat merasakan aura gelapnya menyelubungi ruangan ini.

Dengan putus asa, aku melompat ke meja dekat jendela dan terseok-seok berjalan menuju jendela. Aku sudah hampir berhasil menghantamkan buku hard cover di tanganku ke kaca jendela saat tiba-tiba tangan putih pucat itu mencengkeram kakiku sekali lagi.

Aku menoleh sembari berteriak.

Kesalahan besar. Sebab, aku jadi bisa melihat seringai kejam itu sekali lagi, kali ini bahkan lebih lebar daripada sebelumnya. Bibir robek itu meneteskan darah pekat yang lengket ke kakiku—yep, dia sudah sedekat itu.

“M-menjauh!” teriakku dengan suara bergetar. Tubuhku semakin terseret ke belakang dan nyaris jatuh saat aku sadar jarakku dengan kaca jendela semakin jauh.

Didorong rasa panik yang menjadi-jadi, aku melempar buku hard cover di tanganku sekuat tenaga ke arah jendela. Kaca rapuh yang memang sudah saatnya jebol itu pecah berkeping-keping. Tanpa berpikir panjang, aku menendang ke belakang, menepiskan tangan berkuku tajam yang telah merobek-robek kulit kakiku hingga berdarah dan menampakkan daging merah segar. Dan, tanpa ancang-ancang, aku pun melompat ke bawah melalui jendela, merasakan beberapa keping pecahan kaca menggores dan menancap di tanganku, sekaligus merasakan tubuhku jatuh bebas di udara.

Dan saat itulah, pandanganku menggelap. Mungkin untuk selamanya.

***

Christian POV

Saat ini, aku sudah selesai menggambar segel hantu di beberapa pintu dan jendela rumah, alias tempat yang biasa dipakai sebagai jalan masuk roh halus. Kugosok hidungku yang sampai sekarang masih terasa nyeri akibat ditonjok orang tak tau diri.

Dasar orang goblok yang nggak tau diuntung! Aku sama sekali tak menyangka kalau Leo sebenarnya adalah tipe penakut yang ketika ketakutan menyalahkan orang-orang atas segalanya–seperti yang baru saja ia lakukan padaku. Dan sialnya lagi, aku tak sempat membalas tinjuannya yang membuat hidungku berdarah karena Pak Sardi sudah menerjang masuk ke dalam kelas.

Tapi biar sajalah.

Lagipula si bego itu sudah mendapatkan hukuman menata buku perpustakaan yang luar biasa berantakan. Belum lagi, ia harus merasakan kepengaban ruang itu selama berjam-jam karena dipenuhi buku-buku yang sudah menguning. Jadi, ya sudahlah biarkan saja dia, toh sebenarnya Leo juga sahabatku. Lagipula untuk apa memikirkannya lagi? Lebih baik, aku membuat beberapa segel di tempat lain sebelum adzan terdengar.

Kusahut kuas, tinta, serta semangkuk garam yang ada di sebelahku, lalu berjalan menuju tempat terakhir, yaitu jendela alias jeruji kamarku. Ya, memang biasanya hantu memilih untuk masuk lewat jendela atau pintu yang terbuka karena memerlukan kekuatan yang lebih sedikit. Kalau kalian pernah lihat di film-film mereka menembus tembok, itu hanyalah untuk hantu-hantu pro dengan kekuatan lebih yang ingin mereka buang-buang karena akan sangat melelahkan untuk menembus sebuah tembok. Beberapa hantu cerdas lebih memilih menerobos pintu depan saat ada orang keluar-masuk, atau masuk lewat jendela seperti maling.

Kuletakkan sebuah kursi pada meja besi yang masih memiliki bekas goresan akibat ‘permainan’ kemarin. Memaang jeruji ini sangat tinggi, jadi hanya dengan berdiri tanpa bantuan kursi atau meja, aku–orang yang tergolong tinggi tak dapat mencapainya. Jadi soal Leo melihat sepasang mata di sini kemarin, itu pasti adalah roh halus yang tertarik dengan ‘permainan’ kami kemarin.

Yah, untung saja, hari ini orang tuaku pergi ke luar kota. Jadi aku tak perlu berkompromi agar mereka tak membuka jendela-jendela maupun membukakan pintu untuk ‘tamu’.

Suara adzan maghrib pun sudah terdengar.

Sudah waktunya roh halus berkeliaran.

Dan sudah waktunya untuk aku pergi ke loteng guna mengamankan diri dari serangan hantu aneh yang sejak kemarin mengejarku, setidaknya sampai besok pagi. Aku sungguh-sungguh ingin pergi ke masa lalu lewat mesin waktu milik doraemon hanya untuk berterima kasih pada Christian kecil.

Kuambil sejumput garam lalu kutaburkan di bawah tangga hingga ke loteng. Kertas-kertas berisi segel dan mantra juga kuletakkan di anak-anak tangganya. Semuanya harus kupersiapkan sebaik mungkin, tanpa cacat sedikit pun.

Ini semua sudah menyangkut masalah hidup dan mati.

Tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku. Suara itu berupa bisikan lembut yang terdengar jelas di telingaku. Waalaupun lembut, suara itu berhasil membuat bulu kudukku berdiri. Segera kutuangkan garam ke telapak tanganku dan kugenggam kuat-kuat untuk berjaga-jaga.

Ser…

Angin yang-entah-dari-mana-asalnya pun menerpaku diiringi dengan panggilan lembut menyerukan namaku.

“Apa?” Jawabku sengak untuk sedikit menakutinya–cara ini adalah cara menakuti roh lemah-lembut yang berniat mengganggu kita.

“Christian…” Panggilnya lirih seperti desisan ular.

Aku hanya diam. Membeku di tempat sambil berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa tak ia tak akan bisa menyakitiku karena aku dapat merasakan aura roh ini tak kuat-kuat amat.

“Kau lupa menyegel pintu belakang.” Lanjutnya lirih.

Holy crap!

Aku segera lari kalang kabut menuju pintu belakang yang untungnya sudah tak jauh dari sini. Jantungku berpacu kencang seirama dengan langkah demi langkah yang dibuat kakiku. Seluruh tubuhku gemetaran, terutama bagian telapak kaki, namun tetap kupaksa mereka untuk membawaku menuju pintu sialan itu.

Aku terlambat.

Di sana sudah berdiri sesosok gadis dengan rambut berwarna aneh. Ia menghadap ke arahku, namun wajahnya ia tundukan. Entah kenapa aku dapat merasakan aura yang amat mengerikan, amat kuat, dan penuh dendam darinya. Bulu kudukku langsung meremang, tubuhku pun bergidik ngeri.

Sesuatu dalam diriku menyuruhku untuk lari.

Namun kakiku terlalu gemetar untuk kugerakan, bahkan untuk berdiri saja sudah sulit. Jantungku berdebar lebih keras lagi hingga aku dapat mendengar detakan per detakan. Rasanya detikan demi detikan jam yang ada di ruang tamu bisa kudengar dari sini, seperti suara itu sedang berusaha menghinoptisku dan mempengaruhi detakan jantungku.

Ia masih di sana.

Menunduk dalam-dalam merasa malu menampakan wajahnya.

Perasaanku bercampur aduk antara penasaran, ketakutan, dan perasaan ingin segera melemparkan garam ini ke wajahnya untuk mengusirnya dari sini. Kugenggam kuat-kuat garam yang hampir mencair seluruhnya di telapak tanganku saat ia mulai mengangkat wajahnya perlahan-lahan.

Aku hampir pingsan di tempat saat menatap wajahnya.

Mata hitam pekat bagaikan sepasang kelereng yang dipasang di letakkan dalam dua lubang oval. Matanya lebih banyak memancarkan dendam dan benci daripada kehidupan. Dua buah bulatan hitam ada di tempat-di-mana-seharusnya-hidung-berada membuatnya tampak seperti alien dari luar angkasa. Dan yang paling menakutkan adalah mulutnya yang sobek dari telinga kanan hingga telinga kiri menampakkan gigi-giginya yang penuh darah bahkan melihat secara langsung seorang Kuchisake Onna. Namun walaupun begitu, mulut itu…, mulut itu…, tersenyum sangat lebar saat melihat ke arahku.

“Halo… Christian.” Katanya lirih seperti desisan ular, namun lebih.., lebih mengerikan dari suara yang sebelumnya, yang kuduga adalah suara Yurigame-san.

Belum pernah aku melihat seorang…, bukan, sesosok roh yang semengerikan gadis ini. Aku dapat melihatnya. Ia sudah mencabut banyak jiwa.

“Apa maumu?”Kataku semampuku, dengan suara yang bergetar. Pikiranku sudah tak karuan dipenuhi dengan kata-kata bahwa hidupku akan segera berakhir. Akhirnya, akupun jatuh ke lantai, berlutut di hadapannya, ini semua akibat aku tak bisa menahan lagi getaran yang terus menerus ada di kedua kakiku.

Senyumannya menjadi lebih lebar, menunjukan kedua beuah lubang jeleknya yang tampak mengerikan pada kulit putih pucat.

Ia mengacungkan sebuah pisau penuh darah padaku.

Seketika jantungku berpacu lebih cepat lagi. Tubuhku membeku di tempat, pada posisi berlutut di depan gadis yang sekarang sudah mendekatiku perlahan-lahan dengan pisau daging penuh darah. Rasanya hari ini adalah akhir dari hidupku, akhir dari segalanya.

TO BE CONTINUED…

Okay. Take a deep breath.

FINALLY IT’S OUT! AFTER A THOUSAND YEARS IT’S OUT FINALLY FINALLY OMG I CANNOT CALM DOWN I CANNOT BREATHE I CANNOT I JUST CANNOT AT LEAST I FINALLY POST SOMETHING NEW THAT IS IMPORTANT LOLOL PLEASE SLAP ME

Fiuh. Okay, now calm down.

Firstly, I know it’s kinda annoying that I’m adding this shit (I mean, random talk) after the story because it was meant to be scary and I shouldn’t have ruined the mood with my crap. But I cannot hold it in, I MUST SAY SORRY. It has been about one and a half month since Halloween yet this story hasn’t been finished yet. Prob the next chapter of this story would get its title changed into Christmas Special and ya be seein Stacy in Santa’s costume yay Santacy!

So, please have some mercy. I cannot tell you whether the next chapter will be chapter three or straight to the epilogue. You guess then. There’s always something to guess at the end of this story haha.

I guess I’ll have to end this now. Bubaaah!!

NOW IT’S SAFE TO LOOK BEHIND YOUR BACK…

8 thoughts on “[STACY’S CURSE] Special Halloween : Torment or Threat (Chapter Two)

  1. hai.__. aku mbaca lho ahahahaha #garing
    ak udh ngechat kw sih barusan :/
    btw, ni udh lwt 1 stgh bln dr halloween lho #apasih#abaikan



    bubye :]
    eLc

      1. oke deh gue komenin
        ceritanya bags bgt qaqa, kpn chap selanjutnya dipost????? Penasaran nih qa 😀
        aduh gmn nasibnya si chris??! #stressakut

Leave a reply to Katecil Cancel reply